Sunday, November 3, 2019

Pengantar Pendidikan


BAB II
PEMBAHASAN
2.1     Hakikat Manusia
Secara faktual, kegiatan pendidikan merupakan kegiatan antar manusia, oleh manusia dan untuk manusia. Para ahli telah mengemukakan berbagai pendapat tentang pendidikan, pada umumya mereka sepakat bahwa pendidikan itu diberikan atau diselenggarakan dalam rangka mengembangkan seluruh potensi kemanusiaan ke arah yang positif (Dardiri, 2010). Kegiatan pendidikan merupakan kegiatan yang melibatkan manusia secara penuh, dilakukan oleh manusia, antar manusia, dan untuk manusia. Dengan demikian berbicara tentang pendidikan tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan tentang manusia. (Khasina, 2013).

Manusia adalah keyword yang harus dipahami terlebih dahulu bila ingin memahami pendidikan (Sardiman, 2007). Socrates mengatakan bahwa belajar yang sebenarnya adalah belajar tentang manusia. Berdasarkan fakta adanya pertautan yang sangat intim antara pendidikan dan manusia, maka sangat masuk akan apabila kajian dalam mata kuliah pengantar pendidikan ini diawali dengan diskusi atau bahasan menyangkut hakikat manusia itu sendiri.
Manusia menurut Socrates adalah makhluk yang selalu ingin tahu tentang segala sesuatu. Kewajiban setiap orang untuk mengetahui dirinya sendiri lebih dahulu jika ingin mengetahui hal-hal di luar dirinya. Manusia ternyata tidak cukup hanya mengkaji tentang alam sekitarnya, ia selanjutnya juga berpikir tentang Tuhan dan berbagai aspek yang berhubungan dengan kehidupan. Manusia akhirnya juga berpikir segala sesuatu tentang dirinya, yaitu siapa, bagaimana, dimana dan untuk apa manusia itu diciptakan (Khobir, 1997). Manusia adalah makhluk yang pandai bertanya, bahkan ia mempertanyakan dirinya sendiri, keberadaannya, dan dunia seluruhnya (van der Weij, 1991).
Berdiskusi tentang manusia akan selalu menarik dan karena menarik itulah maka masalahnya tidak pernah tuntas laksana sebuah permainan yang tak kunjung usai. Hal ini menjadi wajar mengingat manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang menakjubkan, makhluk unik multidimensi, serba meliputi, sangat terbuka, dan mempunyai potensi agung (Nawawi, 1996).
Bila ia fokus pada kajian kemampuan manusia berpikir maka ia akan memberi pengertian manusia dengan animal rational, hayawan nathiq, atau hewan yang berpikir/bernalar. Jika ia lebih berfokus pada adanya pembawaan kodrat manusia untuk hidup bermasyarakat, maka tentu memberi pengertian manusia sebagai zoon politicon, homo socius, atau makhluk sosial. Seseorang yang menitikberatkan pada aktivitas manusia untuk mencukupi kebutuhan hidup, maka pengertiannya adalah homo economicus atau makhluk ekonomi. Sementara itu, bila sudut pandang seseorang lebih pada keistimewaan manusia menggunakan simbol-simbol seperti pemikiran Cassirer, maka tentu pengertian manusia menurutnya adalah animal symbolicum (Basyir, 1984).
Berbeda dengan lainnya, orang yang berpandangan bahwa manusia adalah makhluk yang selalu membuat bentuk-bentuk baru dari bahanbahan alam untuk mencukupi segala kebutuhan hidupnya, maka pengertian yang diberikan pastilah sama dengan Bergson yaitu homo faber, hewan pembuat perkakas atau tool-making animal ( Heschel,  1965). Banyak pakar yang mendefinisikan manusia dengan istilah homo sapiens, artinya makhluk yang mempunyai budi (akal). Revesz menyebut manusia sebagai homo loquen yaitu makhluk yang pandai menciptakan bahasa, menjelmakan pikiran dan perasaan dalam kata-kata yang tersusun.  Aristoteles sendiri mengatakan manusia zoon politicon atau animal ridens, makhluk yang bisa humor.  Homo religious yaitu manusia pada dasarnya beragama (Pulungan, 1984).
Dengan ungkapan yang berbeda kita mengenal pula definisi tentang manusia yaitu animal educandum, hewan yang memerlukan pendidikan. Tanpa pendidikan manusia tidak mungkin menjadi manusia atau mewujudkan kemanusiaannya. Manusia adalah animal educabili, berarti ia mempunyai potensi untuk dididik atau dikembangkan. Apabila manusia itu dilahirkan sudah sempurna maka manusia tidak lagi memerlukan pendidikan. Manusia diciptakan oleh Maha Pencipta dengan segala kesempurnaannya tetapi juga dilahirkan di dalam berbagai kelemahannya sebagai manusia, oleh sebab itu ia memerlukan pendidikan untuk mewujudkan kemanusiaannya sebagai potensi. Harus diingat pula bahwa proses pendidikan bukan suatu proses satu arah tetapi suatu proses dua arah antara pendidik dan peserta didik. Tugas pendidik adalah tugas yang paling tua di dunia ini sebagaimana tugas seorang ibu sebagai pendidik utama bagi anak-anaknya. Jadi hakikat manusia bukan hanya sebagai animal educandum, animal educabili, tetapi juga sebagai animal educator.
Sains modern cenderung memahami manusia dari aspek spasial dan biologisnya sebagai benda dan hewan. Pemahaman ini maksimal menempatkan manusia sebagai “hewan plus”. Jiwa manusia, tak lebih dari metabolisme yang menghasilkan panas dan darah hangat, respirasi paru-paru, otak yang besar, pikiran terus berpetualang, kreativitas tangan, ingatan, mimpi, kehendak, organisasi sosial, kekeluargaan, kesadaran, dan kebudayaan. Ini sejatinya adalah lanjutan dari pemikiran filosofis Aristoteles yang menempatkan manusia sebagai unit dari kerajaan hewan. Manusia dalam Aristotelian “secara kodrati adalah hewan beradab” dan “hewan yang mampu mengumpulkan pengetahuan”, selain sebagai hewan yang berjalan di atas dua kaki, hewan berpolitik, satu-satunya hewan yang punya kemampuan memilih, dan sebagai hewan peniru atau imitative ( Nugroho,  2012).
Mengutip pendapat Heschel, lebih lanjut menurut Nugroho (2012) konsep yang tak kalah buruk dari gagasan “manusia adalah hewan plus”, adalah konsep modern bahwa manusia itu mesin. Manusia hanyalah “mesin yang bila kita masukkan makanan ke dalamnya akan memproduksi pikiran”, suatu “rakitan dan karya pertukangan yang ulung”. Pemikiran ini pertama kali dieksplisitkan oleh La Mettrie (170951) dalam L’Homme machine yang menggambarkan aktivitas psikis manusia sebagai fungsi-fungsi mekanis dari otak.
Dalam konteks yang lain, menurut Kosasih (2012) pertanyaan filosofis atau mendasar tentang sosok manusia adalah “What is man, and what of is man made?”Apa dan terbuat dari apa manusia itu. Untuk menjawab pertanyaan tersebut banyak filosof dengan pandangan filsafatnya yang memberikan batasan atau definisi tentang manusia. Sigmund Freud misalnya berpandangan bahwa hakikat manusia sebenarnya bisa ditinjau dari struktur jiwa yang dimiliki yang terdiri dari tiga hal, yaitu das Es, das Ich dan das Uber Ich. Das Es bagian dasar (the Id)  yang sama sekali terisolasi dari dunia luar, hanya mementingkan masalah kesenangan dan kepuasan (lust principle)  yang merupakan sumber nafsu kehidupan, yakni hasrat-hasrat biologis (libido-seksualis) dan bersifat a-sadar, amoral a-sosial dan egoistis. Das Ich (aku = ego), sifatnya lebih baik dari pada das Es, das Ich dapat mengerti dunia a-sadar, a-sosial dan amoral, lebih realistis tapi belum ethis.Yang ketiga das Uber Ich (superego) , ini adalah bagian jiwa yang paling tinggi dan paling sadar norma dan paling luhur, bagian ini sering dinamakan budinurani (consciencia). Superego atau das Uber Ich ini selalu menjunjung tinggi nilai-nilai moral, etika, dan religius.
                 2.1.1     Polarisasi Pemikiran tentang Manusia
Banyaknya definisi tentang manusia, membuktikan bahwa manusia adalah makhluk multidimensional, manusia memiliki banyak wajah ( Dardiri, 2010). Berdasarkan fakta tersebut, maka Piedade (1986) mencoba membuat polarisasi pemikiran tentang manusia, yaitu pola pemikiran biologis, pola pemikiran psikologis, pola pemikiran sosial-budaya, dan pola pemikiran teologis (Dardiri lebih menyukai menggunakan istilah religius daripada teologis).
ü Manusia Menurut Pola Pemikiran Biologis
Menurut pola pemikiran ini, manusia dan kemampuan kreatifnya dikaji dari struktur fisiologisnya. Salah satu tokoh dalam pola ini adalah Portmann yang berpendapat bahwa kehidupan manusia merupakan sesuatu yang bersifat sui generis meskipun terdapat kesamaan-kesamaan tertentu dengan kehidupan hewan atau binatang. Dia menekankan aktivitas manusia yang khas, yakni bahasa, posisi vertikal tubuh, dan ritme pertumbuhannya. Semua sifat ini timbul dari kerja sama antara proses keturunan dan proses sosial-budaya. Aspek individualitas manusia bersama sifat sosialnya membentuk keterbukaan manusia yang berbeda dengan ketertutupan dan pembatasan deterministis binatang oleh lingkungannya. Manusia tidak membiarkan dirinya ditentukan oleh alam lingkungannya. Menurut pola ini, manusia dipahami dari sisi internalitas, yaitu manusia sebagai pusat kegiatan internal yang menggunakan bentuk lahiriah tubuhnya untuk mengekspresikan diri dalam komunikasi dengan sesamanya.
ü Manusia Menurut Pola Psikolgis
Kekhasan pola ini adalah perpaduan antara metode-metode psikologi eksperimental dan suatu pendekatan filosofis tertentu, misalnya fenomenologi. Tokoh-tokoh yang berpengaruh besar pada pola ini antara lain Ludwig Binswanger, Levis Strauss, dan Erich Fromm. Binswanger mengembangkan suatu analisis eksistensial yang bertitik tolak dari psikoanalisis Freud. Namun pendirian Binswanger bertolak belakang dengan pendirian Freud tentang kawasan bawah sadar manusia yang terungkap  dalam mimpi, nafsu, dan dorongan seksual. Freud dengan psikoanalisisnya lebih menekankan faktor internal manusia, sementara pandangan behaviorisme lebih menekankan faktor eksternal. Pandangan psikologi humanistik lebih menekankan kemampuaan manusia untuk mengarahkan dirinya, baik karena pengaruh faktor internal maupun eksternal. Hal ini menunjukkan bahwa manusia tidak serta merta atau otomatis melakukan suatu tindakan berdasarkan desakan faktor internal, karena desakan faktor internal bisa saja ditangguhkan pelaksanaannya.
ü Manusia Menurut Pola Pemikiran Sosial-Budaya
Manusia menurut pola pemikiran ini tampil dalam dimensi sosial dan kebudayaannya, dalam hubungannya dengan kemampuan untuk membentuk sejarah. Menurut pola ini, kodrat manusia tidak hanya mengenal satu bentuk yang uniform (seragam) melainkan berbagai bentuk. Salah satu tokoh yang termasuk dalam pola ini adalah Erich Rothacker. Dia berupaya memahami kebudayaan setiap bangsa melalui suatu proses yang dinamakan reduksi pada jiwa-jiwa nasional dan melalui mitos-mitos.  Reduksi pada jiwa-jiwa nasional adalah proses mempelajari suatu kebudayaan tertentu dengan mengembalikannya pada sikap-sikap dasar serta watak etnis yang melahirkan pandangan bangsa yang bersangkutan tentang dunia, atau weltanschauung.
Pengalaman purba itu dapat direduksi lagi. Dengan demikian, meskipun orang menciptakan dan mengembangkan lingkup kebudayaan nasionalnya, kemungkinan-kemungkinan pelaksanaan dan pengembangannya sudah ditentukan, karena semuanya itu sudah terkandung dalam warisan ras. Tokoh lain yang dapat dimasukkan dalam pola ini adalah Ernst Cassirer yang merumuskan manusia sebagai animal symbolicum, makhluk yang pandai menggunakan simbol.
ü Manusia Menurut Pola Pemikiran Religius
Pola pemikiran ini bertolak dari pandangan manusia sebagai homo religiosus. Salah satu tokohnya adalah Mircea Eliade.  Menurut Eliade, homo religiosus adalah tipe manusia yang hidup dalam suatu alam yang sakral, penuh dengan nilai-nilai religius dan dapat menikmati sakralitas yang ada dan tampak pada alam semesta, alam materi, alam tumbuh-tumbuhan, dan manusia. Pengalaman dan penghayatan akan Yang Suci ini selanjutnya mempengaruhi, membentuk, dan ikut menentukan corak serta cara hidupnya. Eliade mempertentangkan homo religiosus dengan alam homo non-religiosus, yaitu manusia tidak beragama, manusia modern yang hidup di alam yang sudah didesakralisasikan, bulat-bulat alamiah, apa adanya, dirasa atau dialami tanpa sakralitas. Bagi manusia non-religiosus, kehidupan ini tidak sakral lagi, melainkan profane saja.
Pembahasan hakikat manusia tidak akan pernah selesai apabila hanya berdasarkan pada pandangan-pandangan manusia sendiri yang mengandalkan kemampuan akal semata. Oleh karena itu diperlukan penjelasan dari sumber yang meyakinkan, yaitu sumber yang diperoleh langsung dari Tuhan sebagai Penciptanya yaitu Al-Qur’an. Bagaimanapun harus disadari sepenuhnya bahwa manusia tidak lain adalah makhluk ciptaan Allah SWT yang memiliki fitrah, akal, kalbu, kemauan, dan amanah.
Manusia dengan segenap potensi (kemampuan) kejiwaan naluriah, seperti akal pikiran, kalbu kemauan yang ditunjang dengan kemampuan jasmaniahnya, manusia akan mampu melaksanakan amanah Allah dengan sebaik-baiknya. Pelaksanaan amanah mendorong pencapaian derajat manusia yang sempurna (beriman, berilmu, dan beramal) manakala manusia memiliki kemauan serta kemampuan menggunakan dan mengembangkan segenap kemampuan. Manusia juga dianggap sebagai khalifah di bumi yang mengemban tanggung jawab sosial yang berat. Sebagai khalifah, manusia merupakan mahluk sosial yang multiinteraksi, memiliki tanggung jawab baik kepada Allah maupun kepada sesama manusia. Hubungan dengan Allah merupakan hubungan yang harus dibina manusia dimanapun ia berada. Hubungan manusia dengan manusia harus dibangun atas dasar saling menghargai atau menghormati agar tercipta suasana ideal, karena sejatinya manusia terbaik adalah manusia yang paling bermanfaat bagi sesamanya (Hasan, 2006). Sebagaimana yang terdapat di dalam Al Qur’an, Islam menegaskan bahwa manusia adalah makhluk Tuhan, baik sebagai makhluk individu maupun sosial, mempunyai kedudukan yang sama di hadapan-Nya (Herawati, 2012).
Sehubungan dengan itu, Al-Qur'an memperkenalkan tiga istillah kunci (key term)  yang digunakan untuk menunjukkan arti pokok manusia, yaitu al-Insan, al-Basyar dan al-Nas. Kata al-Insan dipakai untuk menyebut manusia dalam konteks kedudukan manusia sebagai makhluk yang mempunyai kelebihan-kelebihan, yaitu 1) manusia sebagai makhluk berpikir, 2) makhluk pembawa amanat, dan 3) manusia sebagai makhluk yang bertanggung jawab pada semua yang diperbuat. Kata insan menunjuk suatu pengertian adanya kaitan dengan sikap, yang lahir dari adanya kesadaran penalaran (Asy'arie, 1992) Kata insan digunakan alQur'an untuk menunjukkan kepada manusia dengan seluruh totalitasnya, jiwa dan raga. Manusia yang berbeda antara seseorang dengan yang lain adalah akibat perbedaan fisik, mental, dan kecerdasan ( Shihab, 1996).
Kata al-Insan yang dengan segala bentuk derivasinya dapat disimpulkan bahwa secara proses lahirnya diawali dengan konsep spiritual, namun dari aspek fisik mengandung makna jinak sebagai makhluk yang memiliki sifat keramahan dan kemampuan yang sangat tinggi. Istilah lain yang sering digunakan dalam al-Qur’an ialah makhluk sosial dan makhluk kultural (Salim, 2002). Menurut Seha (2010) al-Qur’an secara konsepsional mencanangkan sesuatu bentuk membangun hidup bersama, tolong menolong dalam kebaikan dengan konsep ta‘?wun dalam QS Al-Maidah ayat 2.
Kata al-Basyar dipakai untuk menyebut semua makhluk baik lakilaki ataupun perempuan, baik satu ataupun banyak. Kata ini memberikan referensi kepada manusia sebagai makhluk biologis yang mempunyai bentuk tubuh yang mengalami pertumbuhan dan perekembangan jasmani. Selanjutnya kata al-Nas, mengacu kepada manusia sebagai makhluk sosial. Penjelasan konsep ini dapat ditunjukkan dalam dua hal, yaitu 1) banyak ayat yang menunjukkan kelompok-kelompok sosial dengan karakteristiknya masing-masing yang satu dengan yang lain belum tentu sama dan 2) pengelompokkan manusia berdasarkan mayoritas (Hasan, 2004).
Selain ketiga istilah kunci itu, dikenal pula istilah abd Allah, Bani Adam, Bani Hasyr, dan Khalifah Allah. Konsep Abd Allah menunjukkan bahwa manusia adalah hamba yang segala bentuk aktivitas kehidupannya untuk menghambakan diri kepada Allah. Konsep Bani Adam berarti manusia berasal dari nenek moyang yang sama, yaitu Adam dan Hawa yang terdiri dari berbagai ras. Konsep Bani Hasyr menggambarkan manusia sebagai makhluk biologis terdiri dari unsur materi yang membutuhkan makan dan minum, bukan keturunan makhluk bukan manusia. Konsep Khalifah Allah menunjukkan manusia mengemban tugas untuk mewujudkan serta membina sebuah tatanan kehidupan yang harmonis di bumi (Rakhmat, 2011).
            2.1.2      Pandangan Para Ahli Mengenai Hakikat Manusia
Prayitno (2009) secara sistematis mengemukakan beberapa pandangan tentang manusia dengan merujuk dari pandangan para ahli berikut mulai dari pandangan yang paling lama sampai pada pandangan yang paling baru:
ü  Plato. Manusia pada hakikatnya ditandai oleh adanya kesatuan antara apa yang ada pada dirinya, yaitu pikiran, kehendak, dan nafsu.
ü  Hsun Tsu. Manusia pada hakikatnya adalah jahat, oleh karenanya untuk mengembangkannnya diperlukan latihan dan disiplin yang keras, terutama disiplin kepada tubuhnya.
ü  Agustinus. Manusia merupakan kesatuan jiwa dan badan, yang dimotivasi oleh prinsip kebahagiaan; kesemuanya itu diwarnai oleh dosa warisan dari pendahulunya.
ü  Descarten. Manusia terdiri dari unsur dualistik, jiwa dan badan. Jiwa tidak bersifat bendawi, abadi dan tidak dapat mati, sedangkan badan bersifat bendawi dapat sirna dan menjadi sasaran filsafat fisika. Antara badan dan jiwa terdapat pertentangan yang berkelanjutan tak terjembatani; badan dan jiwa itu masing-masing mewujudkan diri dalam berbagai hal sendiri-sendiri. Namun demikian, manusia adalah jiwanya.
Pandangan yang lebih baru tentang manusia, antara lain dikemukakan oleh pemikir-pemikir sebagai berikut:
ü  Freud. Manusia tidak memegang nasibnya sendiri. Tingkah laku manusia ditunjukan untuk memenuhi kebutuhan biologis dan instinginstingnya, dan dikendalikan oleh pengalaman-pengalaman masa lampau, dan ditentukan oleh faktor-faktor interpersonal dan intrapsikis.
ü  Adler. Manusia tidak semata-mata bertujuan memuaskan dorongandorongan dirinya, tetapi juga termotivasi untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan pemenuhan kebutuhan dalam mencapai segala sesuatu. Tingkah laku individu ditentukan oleh lingkungan, pembawaan, dan individu itu sendiri.
ü  Rogers. Manusia adalah makhluk rasional, tersosialisasikan, dan dapat menentukan nasibnya sendiri. Dalam kondisi yang memungkinkan, manusia akan mampu mengarahkan diri sendiri, maju, dan menjadi individu yang positif dan konstruktif.
ü  Skinner. Manusia adalah makhluk reaktif yang tingkah lakunya dikontrol oleh faktor-faktor di luar dirinya. Tingkah laku manusia dipelajari ketika individu berinteraksi dengan lingkungannya, melalui hukum-hukum belajar.
ü  Glasser. Tindakan manusia didorong untuk memenuhi kebutuhan dasar (baik psikologikal maupun fisiologikal), yang sama untuk semua orang. Kebutuhan fisologikal adalah segala sesuatu untuk mempertahankan kesadaran organisme, sedangkan kebutuhan psikologikal terarah untuk mencintai dan dicintai, serta berguna bagi diri sendiri dan orang lain.
ü  Ellis. Manusia memiliki kemampuan inheren untuk berbuat secara rasional ataupun tidak rasional. Berpikir dan merasa itu sangat dekat dan bergandengan satu sama lain: pikiran seseorang dapat menjadi perasaannya, dan sebaliknya.
ü  Sartre. Manusia dipandang sebagai nol yang me-nol-kan diri, pour soi yang dirinya itu bukan merupakan objek, melainkan subjek, dan secara kodrati dirinya itu adalah bebas.
2.2     Wujud Sifat Hakikat Manusia
Kaum eksistensialis berpandangan bahwa wujud sifat hakikat manusia terdiri dari tujuh, meliputi kemampuan menyadari diri, kemampuan bereksistensi, kata hati, tanggung jawab, rasa kebebasan, kewajiban dan hak, dan kemampuan menghayati kebahagiaan (Tirtarahardja & Sulo, 2005). Uraian dari masing-masing wujud sifat hakikat tersebut akan diuraikan satu persatu, sebagai berikut.
                  2.2.1     Kemampuan menyadari diri
Kemampuan menyadari diri adalah bahwa manusia itu berbeda dengan makhluk lain, karena manusia mampu mengambil jarak dengan obyeknya termasuk mengambil jarak terhadap dirinya sendiri. Dia bisa mengambil jarak terhadap obyek di luar maupun ke dalam diri sendiri. Pengambilan jarak terhadap obyek di luar memungkinkan manusia mengembangkan aspek sosialnya, sedangkan pengambilan jarak terhadap diri sendiri, memungkinkaan manusia mengembangkan aspek individualnya.
                 2.2.2       Kemampuan bereksistensi
Adanya kemampuan mengambil jarak dengan obyekya berarti manusia mampu menembus atau menerobos dan mengatasi batas-batas yang membelenggu dirinya. Kemampuan menerobos ini bukan hanya dalam kaitannya dengan soal ruang melainkan juga soal waktu. Manusia tidak terbelenggu oleh ruang (di ruang ini atau di sini), dia juga tidak terbelenggu oleh waktu (waktu ini atau sekarang ini), tetapi mampu menembus ke masa depan atau ke masa lampau. Kemampuan menempatkan diri dan menembus inilah yang disebut kemampuan bereksistensi. Justru karena mampu bereksistensi inilah, maka dalam dirinya terdapat unsur kebebasan.
                 2.2.3       Kata hati
Kata hati adalah kemampuan membuat keputusan tentang yang baik dan yang buruk bagi manusia sebagai manusia. Orang yang tidak memiliki pertimbangan dan kemampuan untuk mengambil keputusan tentang yang baik atau yang buruk, atau pun kemampuannya dalam mengambil keputusan tersebut dari sudut pandang tertentu saja, misalnya dari sudut kepentingannya sendiri dikatakan bahwa kata hatinya tidak cukup tajam. Manusia memiliki pengertian yang menyertai tentang apa yang akan, yang sedang, dan yang telah dibuatnya, bahkan mengerti pula akibat keputusannya baik atau buruk bagi manusia sebagai manusia.
            2.2.4            Tanggung jawab
Tanggung jawab adalah kesediaan untuk menanggung akibat dari perbuatan yang menuntut jawab. Wujud tanggung jawab bermacammacam. Ada tanggung jawab kepada diri sendiri, kepada masyarakat dan kepada Tuhan. Tanggung jawab kepada diri sendiri berarti menanggung tuntutan kata hati, misalnya dalam bentuk penyesalan yang mendalam. Tanggung jawab kepada masyarakat berarti menanggung tuntutan norma-norma sosial, yang berarti siap menanggung sanksi sosial manakala tanggung jawab sosial itu tidak dilaksanakan. Tanggung jawab kepada Tuhan berarti menanggung tuntutannorma-norma agama, seperti siap menanggung perasaan berdosa, terkutuk, dan sebagainya.
            2.2.5            Rasa kebebasan
Rasa kebebasan adalah perasaan yang dimiliki oleh manusia untuk tidak terikat oleh sesuatu, selain terikat (sesuai) dengan tuntutan kodrat manusia. Manusia bebas berbuat sepanjang tidak bertentangan ( sesuai) dengan tuntutan kodratnya sebagai manusia. Orang mungkin hanya merasakan adanya kebebasan batin apabila ikatan-ikatan yang ada telah menyatu dengan dirinya, dan menjiwai segenap perbuatannya.
            2.2.6            Kewajiban dan hak
Kewajiban dan hak adalah dua macam gejala yang timbul sebagai manifestasi dari manusia sebagai makhluk sosial. Keduanya tidak bisa dilepaskan satu sama lain, karena yang satu mengandaikan yang lain. Hak tak ada tanpa kewajiban, dan sebaliknya. Kenyataan sehari-hari menunjukkan bahwa hak sering diasosiasikan dengan sesuatu yang menyenangkan, sedangkan kewajiban sering diasosiasikan dengan beban. Ternyata, kewajiban itu suatu keniscayaan, artinya, selama seseorang menyebut dirinya manusia dan mau dipandang sebagai manusia, maka wajib itu menjadi suatu keniscayaan, karena jika mengelaknya berarti dia mengingkari kemanusiaannya sebagai makhluk sosial.
            2.2.7            Kemampuan menghayati kebahagiaan
Kebahagiaan manusia itu tidak terletak pada keadaannya sendiri secara faktual, atau pun pada rangkaian prosesnya, maupun pada perasaan yang diakibatkannya, tetapi terletak pada kesanggupannya atau kemampuannya menghayati semuanya itu dengan keheningan jiwa, dan mendudukkan hal-hal tersebut dalam rangkaian atau ikatan tiga hal, yaitu usaha, norma-norma dan takdir.
C.        Manusia Sebagai Makhluk Monoprularis dan Monodualis
Hakikat manusia bila dikaitkan pada kesatuan unsur-unsur yang membentuknya, ada yang mengatakan monodualis dan juga monopluralis. Pandangan monodualis menetapkan hakikat manusia pada kesatuan dua unsur. Kata mono berasal dari bahasa Yunani, yaitu monos yang berarti tunggal atau satu dan dualism (dualist) yang berarti dua. Monodualis berarti suatu keadaan yang terbagi dua atau terdiri dari dua bagian tetapi terikat satu. Pandanga monodualis menggap manusia tidak dilihat dari asas-asas pembentukan dirinya seperti monisme atau pluralisme, secara fungsional manusia hidup dan berada baik dari aspek dualitas maupun pluralitas metafisik. Sementara itu, pluralis merupakan kualitas atau kondisi tentang ada lebih dari satu bagian atau bentuk. Pandangan monopluralis meletakkan hakikat manusia pada kesatuan semua unsur yang membentuknya (Asy’arie, 2001).
Manusia adalah makhluk monopluralis, maksudnya makhluk yang memiliki banyak unsur kodrat (plural), tetapi merupakan satu kesatuan yang utuh (mono). Jadi, manusia terdiri dari banyak unsur kodrat yang merupakan satu kesatuan yang utuh. Dilihat dari segi kedudukan, susunan, dan sifatnya masing-masing bersifat monodualis. Riciannya yaitu dilihat dari kedudukan kodratnya manusia adalah makhluk monodualis; terdiri dari dua unsur (dualis), tetapi merupakan satu kesatuan (mono); yakni sebagai makhluk pribadi berdiri sendiri sekaligus sebagai makhluk Tuhan. Dilihat dari susunan kodratnya, manusia sebagai makhluk monodualis, terdiri dari dua unsur yakni unsur raga dan unsur jiwa (dualis), tetapi merupakan satu kesatuan yang utuh (mono). Dilihat dari sifat kodratnya, manusia juga sebagai makhluk monodualis, yakniterdiri dari unsur individual dan unsur sosial (dualis), tetapi merupakan satu kesatuan yang utuh (mono) (Dardiri, 2010; Dardiri, 2011).
Raga pribadi    Makhluk
berdiri sendiri            Kedudukan       Tuhan
Susunan
AnorganikAkal
Vegetatif        Raga  Jiwa   Kehendak
AnimalRasa
Sifat
Individu   Sosial
Kesepuluh unsur kodrati manusia tersebut seperti pada Gambar 1.1 berikut.
Gambar 1.1 Sepuluh Unsur Kodrati Manusia
( Sumber: Dardiri,  2011)
Menurut sudut pandang susunan kodrat manusia monodualis, manusia hakikatnya adalah tersusun atas jiwa dan raga. Jiwa tanpa raga bukan manusia, demikian juga raga tanpa jiwa juga bukan manusia, dengan demikian jelaslah bahwa manusia ini disusun atas dua hal tersebut. Jiwa manusia ini tersusun atas sumber daya: akal, rasa, kehendak, sedangkan raga manusia tersusun atas zat benda mati, zat nabati, dan zat hewani.
Menurut sudut pandang sifat kodrat manusia monodualis, manusia hakikatnya adalah bersifat individu dan juga bersifat sosial. Hal ini dapat dibuktikan bahwa manusia dapat merasakan bahwa sewaktuwaktu sifat individunya yang lebih besar dan dapat juga sewaktu-waktu sifat sosialnya yang lebih dominan. Dua sifat kodrat ini tidak dapat dihilangkan salah satu atau kedua-duanya, karena merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan sebagai unsur kodrat manusia. Sifat kodrat manusia sebagai makhluk sosial, dalam kehidupannya tidak dapat hidup sendiri namun selalu membutuhkan orang lain dalam bentuk hubungan interaksi sosial, dan dari interaksi akan menumbuhkan suatu komunitas atau masyarakat.
Menurut sudut pandang sifat kodrat manusia monodualis, manusia adalah makhluk pribadi berdiri sendiri sekaligus sebagai makhluk Tuhan. Sebagai makhluk pribadi berdiri sendiri, manusia dalam batas-batas tertentu memiliki kemauan bebas (free will) yang menjadikan manusia memiliki kemandirian dan kebebasan. Sebagai makhluk Tuhan, manusia tidak bisa melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan Tuhan (takdir-Nya).
D. Dimensi Hakikat Manusia
Manusia adalah makhluk berdimensi banyak, yakni dimensi keindividualan, dimensi kesosialan, dimensi kesusilaan, dimensi keberagamaan (religiusitas), dimensi kesejarahan (historis), dimensi komunikasi, dan dimensi dinamika.
1.         Dimensi Keindividualan
Manusia adalah suatu kesatuan yang tak dapat dibagi-bagi antara aspek jasmani dan rohani. Manusia juga bersifat unik atau khas, artinya berbeda antara manusia yang satu dengan manusia lainnya baik secara fisik, psikis, maupun sosial. Menurut Tirtarahardja & Sulo (2005) setiap individu memiliki keunikan. Setiap anak manusia sebagai individu ketika dilahirkan telah dikaruniai potensi untuk menjadi diri sendiri, berbeda dari yang lain. Tidak ada diri individu yang identik dengan orang lain di dunia ini, bahkan dua anak kembar sejak lahir tidak bisa dikatakan identik. Adanya individualitas ini menyebabkan setiap orang memiliki kehendak, perasaan, cita-cita, kecenderungan, semangat, dan daya tahan yang berbeda.
 Individu dalam diri manusia terkait dengan sisi luar manusia atau jasmani. Dengan individualitasnya manusia ada di dunia, sehingga ia mampu berinteraksi dengan sesama dan lingkungannya. Individualitas dalam setiap diri manusia berbeda dengan yang lain. Individualitas dalam diri manusia berdasarkan pada sisi rohani, ini membuat manusia bukan sebuah ulangan dari suatu jenis. Manusia itu berharga karena dirinya sendiri dan bukan karena kesamaan dengan jenisnya. Perbedaan manusia dengan sesamanya tidak bersifat kuantitatif tetapi bersifat kualitatif. Individualitas membuat manusia mampu menampakkan sisi personalitasnya, yang membuat manusia memiliki keunikan dari sesamanya (Sneijders, 2004).
Individu adalah ”orang-seorang”, sesuatu yang merupakan suatu keutuhan yang tidak dapat dibagi-bagi (in devide). Setiap orang memiliki individualitas. Kesanggupan untuk memikul tanggung jawab sendiri merupan ciri yang yang sangat esensial dari adanya individualitas pada diri manusia. Setiap anak memiliki dorongan untuk mandiri yang sangat kuat, meskipun di sisi lain pada anak terdapat rasa tidak berdaya, sehingga memerlukan pihak lain yang dapat dijadikan tempat bergantung untuk memberi perlindungan dan bimbingan.
Manusia sebagai makhluk individu, tidak hanya dalam arti makhluk keseluruhan jiwa raga, melainkan juga dalam arti bahwa tiap-tiap orang itu merupakan pribadi (individu) yang khas menurut corak kepribadiannya, termasuk kecakapan-kecakapan serta kelemahankelemahannya. Individu adalah seorang manusia yang tidak hanya memiliki peranan yang khas di dalam lingkungan sosialnya, melainkan juga memiliki kepribadian serta pola tingkah laku spesifik dirinya. Persepsi terhadap individu atau hasil pengamatan manusia dengan segala maknanya merupakan suatu keutuhan ciptaan Tuhan yang mempunyai tiga aspek melekat pada dirinya, yaitu aspek organik jasmaniah, aspek psikis rohaniah, dan aspek sosial kebersamaan. Ketiga aspek tersebut saling mempengaruhi, keguncangan pada satu aspek akan membawa akibat pada aspek yang lainnya (Soelaeman, 1988).
2.        Dimensi Kesosialan
Manusia itu pada dasarnya adalah mahluk yang mampu bermasyarakat, memiliki kecenderungan untuk bekerja sama, bergotongroyong, dan saling tolong-menolong. Menurut Tirtarahardja & Sulo (2005)  setiap manusia dilahirkan telah dikaruniai potensi untuk hidup bersama dengan orang lain. Manusia dilahirkan memiliki potensi sebagai makhluk sosial. Menurut Immanuel Kant, manusia hanya menjadi manusia jika berada di antara manusia. Hidup bersama dan berada di antara manusia lain, akan memungkinkan seseorang dapat mengembangkan kemanusiaannya. Sebagai makhluk sosial, manusia saling berinteraksi. Hanya dalam berinteraksi dengan sesamanya, dalam saling menerima dan memberi seseorang menyadari dan menghayati kemanusiaannya.
Dimensi sosial ini mambuat manusia tidak dapat hidup seorang diri. Manusia senantiasa membutuhkan sesamanya. Kehadiran sesama dalam hidup manusia semakin membuat manusia menyadari dirinya. Oleh karena itu, manusia selalu hidup pada suatu kelompok sosial tertentu, dimana ia dapat belajar tentang nilai-nilai budaya yang diciptakan oleh generasi sebelumnya. Kondisi ini akan membuat manusia bertindak secara khas sebagai manusia. Kehadiran sesama bagi manusia juga membuat hidupnya semakin memiliki arti (Sneijders, 2004).
Hidup bersama dengan sesama membuat hidup manusia selalu terkait dalam relasi dengan sesamanya. Terkait dengan itu, Bertens (1990) mengutip pendapat Martin Buber bahwa dalam diri manusia terdapat dua jenis relasi yang mendasar. Relasi tersebut ialah relasi akuobjek (I-it) serta relasi aku-engkau (I-thou). Relasi aku-objek (I-it)  berarti manusia dapat mempergunakan serta menguasai objek dengan sesuka hatinya. Relasi aku-engkau (I-thou) manusia menghargai sesamanya dengan segala keunikannya. Sesama dipandang sebagai anugerah yang akan semakin menyempurnakan setiap person yang terlibat dalam relasi tersebut.
3.        Dimensi Kesusilaan (Moralitas)
Manusia ketika dilahirkan bukan hanya dikaruniai potensi individualitas dan sosialitas, melainkan juga potensi moralitas atau kesusilaan. Eksistensi manusia memiliki dimensi moralitas. Manusia memiliki dimensi moralitas sebab ia memiliki kata hati yang dapat membedakan antara baik dan jahat. Adapun menurut Immanuel Kant disebabkan pada manusia terdapat rasio praktis yang memberikan perintah mutlak atau categorical imperative ( van der Weij, 1991). Manusia adalah mahluk yang memiliki keterikatan dengan nilai-nilai dan normanorma, baik norma masyarakat, norma agama, maupun norma hukum. Manusia memiliki kata hati artinya mampu membedakan hal yang baik dengan yang tidak baik (buruk).
Menurut Tirtarahardja & Sulo (2005) dimensi kesusilaan atau moralitas maksudnya adalah bahwa dalam diri manusia ada kemampuan untuk berbuat kebaikan seperti bersikap jujur dan bersikap/berlaku adil. Manusia susila adalah manusia yang memiliki nilai-nilai, menghayati, dan melaksanakan nilai-nilai tersebut. Agar anak dapat berkembang dimensi moralitasnya, diperlukan upaya pengembangan dengan banyak diberi kesempatan untuk melakukan kebaikan.
Kebebasan manusia bukanlah kebebasan yang mutlak tetapi kebebasan yang bertanggungjawab. Kebebasan manusia memiliki batasan-batasan, seperti faktor dari luar dan faktor dari dalam. Faktor yang membatasi kebebasan manusia dari luar adalah lingkungan dan pendidikan, sedangkan faktor yang membatasi dari dalam adalah bakat serta kemampuan. Kebebasan manusia juga memiliki aturan dalam berbagai norma, seperti norma kesopanan, norma etiket, norma sosial, norma moral, norma agama, norma adat istiadat, dan norma hukum (Azani, 2012).
4.        Dimensi Keberagamaan (Religiusitas)
Religiusitas adalah seberapa jauh pengetahuan, seberapa kokoh keyakinan, seberapa pelaksanaan ibadah dan kaidah, dan seberapa dalam penghayatan atas agama yang dianut (Nashori & Diana, 2002). Manusia adalah makhluk religius, memiliki kecenderungan untuk mengakui, menyadari, dan meyakini akan adanya zat yang memiliki kekuatan supranatural di luar dirinya atau adanya yang Maha (Maha Esa, Maha Kuasa, dan Maha Besar). Manusia memiliki dorongan untuk menyembah Tuhan (Assegaf, 2005). Beragama (menyembah Tuhan) merupakan kebutuhan manusia karena manusia adalah makhluk yang lemah sehingga memerlukan tempat bertopang. Manusia memerlukan agama demi keselamatan hidupnya. Dapat dikatakan bahwa agama menjadi sandaran vertikal manusia. Manusia dapat menghayati agama melalui proses pendidikan agama.
Menurut Tirtarahardja & Sulo (2005) sesuatu yang disebut supranatural itu dalam sejarah manusia disebut dengan berbagai nama sebutan, satu di antaranya adalah sebutan Tuhan. Sebagai orang yang beragama, manusia meyakini bahwa Tuhan telah mewahyukan kepada manusia pilihan yang disebut rasul yang dengan wahyu Tuhan tersebut, manusia dibimbing ke arah yang lebih baik, lebih sempurna dan lebih bertakwa.
Segala bentuk tanggung jawab pribadi dan sosialnya adalah manifestasi diri sebagai hamba Tuhan, atas amanah-Nya untuk menjadi khalifah di muka bumi. Dengan demikian, upaya untuk dapat memayu hayuning bawana ( selalu berusaha mempercantik kecantikan dunia) dapat dilakukan dengan budi pekerti atau perilaku yang arif dan bijaksana. Manusia sebagai makhluk Tuhan, dalam konteks agama juga memiliki kewajiban untuk selalu berdakwah dan menebarkan amar ma’ruf nahi mungkar ( Ilyas,  2003).
5.        Dimensi Kesejarahan (Historis)
Dunia manusia bukan sekedar suatu dunia vital seperti pada hewanhewan. Manusia tidak identik dengan sebuah organisme. Kehidupannya lebih dari sekedar peristiwa biologis semata. Berbeda dengan kehidupan hewan, manusia menghayati hidup ini sebagai“hidupku” dan “hidupmu”- sebagai tugas bagi sang aku dalam masyarakat tertentu pada kurun sejarah tertentu. Keunikan hidup manusia ini tercermin dalam keunikan setiap biografi dan sejarah. Dimensi kesejarahan ini bertolak dari pandangan bahwa manusia adalah makhluk historis, makhluk yang mampu menghayati hidup di masa lampau, masa kini, dan mampu membuat rencana-rencana kegiatan-kegiatan di masa yang akan datang. Dengan kata lain, manusia adalah makhluk yang menyejarah (Tirtarahardja & Sulo, 2005). Manusia dan sejarah tidak dapat dipisahkan, sejarah tanpa manusia adalah khayal. Manusia dan sejarah merupakan kesatuan dengan manusia sebagai subyek dan obyek sejarah. Bila manusia dipisahkan dari sejarah maka ia bukan manusia lagi, tetapi sejenis mahluk biasa, seperti hewan (Ali, 2005).
Keberadaan manusia pada saat ini terpaut kepada masa lalunya, ia belum selesai mewujudkan dirinya sebagai manusia, ia mengarah ke masa depan untuk mencapai tujuan hidupnya. Sementara itu menurut Nata (2002) manusia adalah makhluk yang historis. Hakikat manusia sendiri adalah suatu sejarah, suatu peristiwa yang bukan semata-mata datum. Hakikat manusia hanya dapat di lihat dalama perjalanan sejarahnya, dalam sejarah bangsa manusia. Apa yang di peroleh dari pengamatan atas pengalaman manusia adalah suatu rangkaian anthropological constants yaitu dorongan-dorongan dan orientasi yang tetap. Anthropological constants yang dapat ditarik dari pengalaman sejarah umat manusia, yaitu (1) relasi manusia dengan kejasmanian, alam, dan lingkungan ekologis; (2) keterlibatan dengan sesama; (3) keterikatan dengan struktur sosial dan institusional; (4) ketergantungan masyarakat dan kebudayaan pada waktu dan tempat; (5) hubungan timbal balik antara teori dan praktis; (6) kesadaran religius dan parareligius. Keenam anthropological constants ini merupakan suatu sintesis dan masing-masing saling berpanguruh satu dengan lainnya.
6.        Dimensi Komunikasi
Kehidupan manusia tidak dapat dilepaskan dari aktivitas komunikasi, karena komunikasi merupakan bagian integral dari sistem dan tatanan kehidupan sosial manusia. Aktivitas komunikasi dapat dilihat pada setiap aspek kehidupan manusia, sejak bangun tidur sampai beranjak tidur. Manusia berinteraksi atau berkomunikasi baik secara vertikal (dengan Tuhannya) maupun secara horizontal (dengan sesama manusia dan alam semesta) untuk mencapai tujuan hidupnya. Komunikasi merupakan proses menyamakan persepsi, pikiran, dan rasa antara komunikator dengan komunikan. Menurut Effendy (2006) secara paradigmatis, komunikasi adalah proses penyampaian suatu pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk memberi tahu atau mengubah sikap, pendapat, atau perilaku, baik langsung secara lisan maupun tak langsung melalui media.
Komunikasi merupakan suatu proses sosial yang sangat mendasar dan vital dalam kehidupan manusia. Dikatakan mendasar karena setiap masyarakat manusia, baik yang primitif maupun yang modern, berkeinginan mempertahankan suatu persetujuan mengenai berbagai aturan sosial melalui komunikasi. Dikatakan vital karena setiap individu memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan individu-individu lainnya sehingga meningkatkan kesempatan individu itu untuk tetap hidup (Rakhmat, 1998).
Komunikasi antar manusia merupakan suatu rangkaian proses yang halus dan sederhana. Komunikasi selalu dipenuhi berbagai unsur-sinyal, sandi, dan arti, tak peduli bagaimana sederhananya sebuah pesan atau kegiatan itu. Komunikasi antar manusia juga merupakan rangkaian proses yang beraneka ragam. Ia dapat menggunakan beratus-ratus alat yang berbeda, ketika manusia berinteraksi saat itulah mereka berkomunikasi (Blake & Haroldsen, 2003).
7.        Dimensi Dinamika
Menurut Drijakarja, manusia mempunyai atau berupa dinamika (manusia sebagai dinamika), artinya manusia tidak pernah berhenti, selalu dalam keaktifan, baik dalam aspek fisiologik maupun spiritualnya. Dinamika mempunyai arah horisontal (ke arah sesame dan dunia) maupun arah transendental (ke arah Yang Mutlak). Adapun dinamika itu adalah untuk penyempurnaan diri baik dalam hubungannya dengan sesama, dunia dan Tuhan. Manusia adalah subjek, sebab itu ia dapat mengontrol dinamikanya. Namun demikian karena ia adalah kesatuan jasmani-rohani (yang mana ia dibekali nafsu), sebagai insan sosial, dan sebagainya, maka dinamika itu tidak sepenuhnya selalu dapat dikuasainya. Terkadang muncul dorongan-dorongan negatif yang bertentangan dengan apa yang seharusnya, kadang muncul pengaruh negatif dari sesamanya yang tidak sesuai dengan kehendaknya, kadang muncul kesombongan yang tidak seharusnya diwujudkan, kadang individualitasnya terlalu dominan atas sosialitasnya, dan sebagainya. Sehubungan dengan itu, idealnya manusia harus secara sengaja dan secara prinsipal menguasai dirinya agar dinamikanya itu betul-betul sesuai dengan arah yang seharusnya (Suyitno, 2010).
E.         Pengembangan Potensi dan Hakikat Manusia
Kajian tentang manusia dengan segala hakikat, dimensi dan potensinya tetap amat penting serta menarik untuk dilakukan dan dikembangkan (Amir, 2012). Manusia adalah makhluk yang memiliki kemanusiaan manusianya (hakikat, dimensi dan potensi) yang dapat menjadi objek dan subjek pendidikan serta sumber pendidikan itu sendiri bagi pengembangan diri. Pendidikan harus berpijak pada kemanusiaan yang dimiliki oleh manusia, karena kemanusiaan manusia itu tidak akan bisa berkembang tanpa adanya pelayanan pendidikan terhadapnya (Prayitno, 2009). Berikut ini akan diuraikan potensi manusia dan pengembangannya serta hakikat dan dimensi.
1.         Potensi Manusia dan Pengembangannya
Berbeda dengan makhluk lainnya, manusia adalah ciptaan Allah yang paling potensial. Potensi yang dibekali oleh Allah untuk manusia sangatlah lengkap dan sempurna. Hal ini menyebabkan manusia mampu mengembangkan dirinya melalui potensi-potensi (innate potentials atau innate tendencies) tersebut. Secara fisik manusia terus tumbuh, secara mental manusia terus berkembang, mengalami kematangan dan perubahan. Kesemua itu adalah bagian dari potensi yang diberikan Allah kepada manusia sebagai ciptaan pilihan. Potensi yang diberikan kepada manusia itu sejalan dengan sifat-sifat Tuhan, dan dalam batas kadar dan kemampuannya sebagai manusia. Jika tidak demikianmaka manusia akan mengaku dirinya Tuhan (Langgulung, 2008). Jalaluddin (2003) dan Khasinah (2013) mengatakan bahwa ada 4 potensi yang utama yang merupakan fitrah dari Allah kepada manusia, yaitu.
a.         Potensi Naluriah (Emosional) atau Hidayat al-Ghariziyyat
Potensi naluriah ini memiliki beberapa dorongan yang berasal dari dalam diri manusia. Dorongan-dorongan ini merupakan potensi atau fitrah yang diperoleh manusia tanpa melalui proses belajar. Makanya potensi ini disebut juga potensi instingtif, dan potensi ini siap pakai sesuai dengan kebutuhan manusia dan kematangan perkembangannya. Dorongan yang pertama adalah insting untuk kelangsungan hidup seperti kebutuhan akan makan, minum penyesuaian diri dengan lingkungan. Dorongan yang kedua adalah dorongan untuk mempertahankan diri. Dorongan ini bisa berwujud emosi atau nafsu marah, dan mempertahankan diri dari berbagai macam ancaman dari luar dirinya, yang melahirkan kebutuhan akan perlindungan seprti senjata, rumah, dan sebagainya. Dorongan yang ketiga adalah dorongan untuk berkembang biak atau meneruskan keturunan, yaitu naluri seksual. Dengan dorongan ini manusia bisa tetap mengembangkan jenisnya dari generasi ke generasi.
b.        Potensi Inderawi (Fisikal) atau Hidayat al-Hasiyyat
Potensi fisik ini bisa dijabarkan atas anggota tubuh atau indra-indra yang dimiliki manusia seperti indra penglihatan, pendengaran, penciuman, peraba dan perasa. Potensi ini difungsikan melalui indra-indra yang sudah siap pakai hidung, telinga, mata, lidah, kulit, otak dan sisten saraf manusia. Pada dasarnya potensi fisik ini digunakan manusia untuh mengetahui halhal yang ada di luar diri mereka, seperti warna, rasa, suara, bau, bentuk ataupun ukuran sesuatu. Jadi bisa dikatkan poetensi merupakan alat bantu atau media bagi manusia untuk mengenal hal-hal di luar dirinya. Potensi fisikal dan emosional ini terdapat juga pada binatang.
c.         Potensi Akal (Intelektual) atau Hidayat al-Aqliyat
Potensi akal atau intelektual hanya diberikan Allah kepada manusia sehingga potensi inilah yang benar-benar membuat manusia menjadi makhluk sempurna dan membedakannya dengan binatang. Potensi akal memberi kemampuan kepada manusia untuk memahami simbolsimbol, hal-hal yang abstrak, menganalisa, membandingkan, maupun membuat kesimpulan yang akhirnya memilih dan memisahkan antara yang benar dengan yang salah. Kebenaran akal mendorong manusia berkreasi dan berinovasi dalam menciptakan kebudayaan serta peradaban. Manusia dengan kemampuan akalnya mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, mengubah serta merekayasa lingkungannya, menuju situasi kehidupan yang lebih baik, aman, dan nyaman.
d.        Potensi Agama (Spiritual) atau Hidayat al-Diniyyat
Selain potensi akal, sejak awal manusia telah dibekali dengan fitrah beragama atau kecenderungan pada agama. Fitrah ini akan mendorong manusia untuk mengakui dan mengabdi kepada sesuatu yang dianggapnya memiliki kelebihan dan kekuatan yang lebih besar dari manusia itu sendiri. Nantinya, pengakuan dan pengabdian ini akan melahirkan berbagai macam bentuk ritual atau upacara-upacara sakral yang merupakan wujud penyembahan manusia kepada Tuhannya. Dalam pandangan Islam kecenderungan kepada agama ini merupakan dorongan yang bersal dari dalam diri manusia sendiri yang merupakan anugerah dari Allah.
Keempat potensi dasar manusia seperti yang dijelaskan di atas harus dikembangkan agar bisa berfungsi secara optimal dan dapat mencapai tujuan yang sebenarnya. Pengembangan potensi manusia ini harus dilakukan secara terarah, bertahap dan berkelanjutan serta dapat dilakukan dengan berbagai cara dan pendekatan. Jalaluddin (2003) dan Khasinah (2013) mengatakan ada beberapa pendekatan yang bisa digunakan dalam mengembangkan potensi manusia.
a.         Pendekatan Filosofis
Menurut pandangan filosofis manusia diciptakan untuk memberikan kesetiaan, mengabdi dan menyembah hanya kepada penciptanya. Manusia memang diciptakan untuk taat dan mengabdi kepada penciptanya. Sesuai dengan kakikat penciptaannya, maka keberadaan atau eksistensi manusia itu baru akan berarti, bermakna dan bernilai apabila pola hidup manusia telah sesuai dengan blue-print yang sudah ditetapkan oleh Tuhan. Pengembangan potensi manusia harus bisa mengarahkan manusia untuk menjadi abdi Tuhannya dan mengikuti nilai-nilai yang benar menurut kebenaran ilahiah yang hakiki.
b.        Pendekatan Kronologis
Pendekatan kronologis memandang manusia sebagai makhluk evolutif. Manusia tumbuh dan berkembang secara bertahap dan berangsur. Petumbuhan fisik dan mental manusia diawali dari proses konsepsi, pada tahap selanjutnya menjadi janin, kemudian lahir menjadi bayi, anak-anak, remaja, dewasa hingga meninggal. Hal ini terjadi sesuai dengan tahapan-tahapan pertumbuhan dan perkembangan yang berlaku. Pengembangan potensi manusia juga harus mengikuti pertumbuhan fisiknya dan perkembangan mentalnya, artinya pengembangan potensi manusia harus diarahkan dan dibina sesuai tahapan-tahapan tumbuh kembang manusia.
c.         Pendekatan Fungsional
Potensi-potensi yang dimiliki manusia diberikan Tuhan untuk dapat dipergunakan dan difungsikan dalan kehidupan mereka. Karena tidak mungkin Tuhan menciptakan sesuatu yang tidak bermanfaat. Semua ciptaan Tuhan mempunyai maksud dan tujuan, temasuk potensi-potensi yang diberikan kepada manusia. Pengembangan potensi manusia harus dilaksanakan sesuai dengan manfaat dan fungsi potensi itu sendiri. Misalnya, dorongan seksual, harus dibina dan diarahkan untuk menjaga kelestarian jenis manusia, bukan untuk berbuat maksiat atau mencari kesenangan semata. Dorongan naluri lain lainnya seperti makan, minum dan mempertahankan diri harus diarahkan untuk kelangsungan hidup, bukan mengumbar nafsu.
d.        Pendekatan Sosial
Pendekatan ini memandang manusia sebagai makhluk sosial. Manusia dianggap sebagai makhluk yang cenderung untuk hidup bersama dalam kelompok kecil (keluarga) maupun besar (masyarakat). Sebagai makhluk sosial manusia harus mampu mengembangkan potensinya untuk bisa berinteraksi di dalam lingkungannya dan mampu memainkan peran dan fungsinya di tengah lingkungannya. Dalam upaya mengembangkan potensi-potensinya manusia membutuhkan dukungan dan bantuan dari pihak lain di luar dirinya untuk membimbing, mengarahkan, dan menuntunnya agar pengembangan potensi tersebut berhasil secara maksimal. Upaya pengembangan potensi ini dilihat dari sudut pandang manapun akan merujuk kepada pendidikan.
Tugas pendidikan dalam pengembangan potensi manusia, adalah dalam upaya menjaga dan mengerahkan fitrah atau potensi tersebut menuju kebaikan dan kesempurnaan. Pengembangan berbagai potensi manusia (fitrah) ini dapat dilakukan dengan kegiatan belajar, yaitu melalui institusi-institusi. Belajar yang dimaksud tidak harus melalui pendidikan di sekolah saja, tetapi juga dapat dilakukan di luar sekolah, baik dalam keluarga maupun masyarakat ataupun melalui institusi sosial yang ada. Kesimpulannnya adalah manusia bisa mengembangkan seluruh potensinya melalui pendidikan, baik itu pendidikan formal, informal maupun pendidikan nonformal (Khasinah, 2013).
2.         Pengembangan Dimensi Hakikat Manusia
Semua unsur hahekat manusia yang monopluralis atau dimensidimensi kemanusiaan tersebut memerlukan pengembangan agar dapat lebih meyempurnakan manusia itu sendiri. Pengembangan semua potensi atau dimensi kemanusiaan itu dilakukan melalui dan dengan pendidikan. Atas dasar inilah maka antara pedidikan dan hakikat manusia ada kaitannya. Dengan dan melalui pendidikan, semua potensi atau dimensi kemanusiaan dapat berkembang secara optimal. Arah pengembangan yang baik dan benar yakni ke arah pengembangan yang utuh dan komprehensif.
Pendidikan telah lahir dalam kehidupan manusia sejak adanya manusia, entah berapa abad yang lalu mendahului kehadiran kita sekarang ini. Banyak orang mengecam pendidikan sebagai biang keladi yang menyebabkan kemerosotan ekonomi, kemerosotan ahlak, kemerosotan kualitas hidup dan lain sebagainya. Tetapi, hingga dewasa ini belum ada yang mengusulkan agar pendidikan disingkirkan atau dihilangkan dari perikehidupan manusia. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan diperlukan oleh manusia (Suyitno, 2010). Pada dasarnya pendidikan merupakan upaya manusia untuk memperbaiki kehidupan manusia, dalam masyarakat dan interelasi kemanusiaan. Disadari atau tidak, setiap pendidik memiliki seperangkat dasar pemikiran untuk melaksanakan tugasnya tersebut. Dasar pemikiran tersebut, berkaitan dengan pandangan hidup, pandangan tentang manusia dan pandangan tentang bagaimana melaksanakan tugasnya itu. Untuk itulah para pendidik perlu mengkaji landasan filsafi yang membahas persoalan hidup dan tujuan hidup, masalah hakikat manusia dan pengembangannya, masalah nilai baik dan buruk, serta masalah tujuan pendidikan.
Telah panjang lebar diuraikan di atas bahwa sasaran pendidikan adalah manusia sehingga dengan sendirinya pengembangan manusia menjadi tugas pendidikan. Manusia lahir telah dikarunia hakikatmanusia tetapi masih dalam potensi, belum teraktualisasi menjadi wujud kenyataan atau aktualisasi. Bergerak dari kondisi potensi menjadi wujud aktualisasi terdapat rentangan proses yang mengundang pendidikan untuk berperan dalam memberikan jasanya. Meskipun tidak dapat disangkal bahwa pendidikan pada dasarnya adalah baik tetapi dalam pelaksanaannya bisa saja terjadi kesalahan (lazimnya disebut salah didik). Terkait dengan itu, ada 2 kemungkinan yang bisa terjadi, yaitu.
a.         Pengembangan yang Utuh       
Menurut Tirtarahardja & Sulo (2005) tingkat keutuhan perkembangan dimensi hakikat manusia ditentukan oleh dua faktor, yaitu kualitas dimensi hakikat manusia itu sendiri secara potensial dan kualitas pendidikan yang disediakan untuk memberikan pelayanan atas perkembangannya. Pengembangan yang utuh dapat dilihat dari berbagai segi, yaitu:
1)        Wujud Dimensinya
Keutuhan terjadi antara aspek jasmani dan rohani, antara dimensi keindividualan, kesosialan, kesusilaan, keberagamaan. historisitas, komunikasi, dan dinamika, juga antara aspek kognitif, afketif, dan psikomotor. Pengembangan aspek jasmani dan rohani dikatakan utuh jika keduanya mendapat pelayanan secara seimbang.
2)   Arah Pengembangan
Keutuhan pengembangan dimensi hakikat manusia dapat diarahkan kepada pengembangan dimensi keindividualan, kesosialan, kesusilaan, keberagamaan, historisitas, komunikasi, dan dinamika secara terpadu.
b.         Pengembangan yang Tidak Utuh
Menurut Tirtarahardja & Sulo (2005) pengembangan yang tidak utuh terjadi jika dalam proses pengembangan unsur-unsur dimensi hakikat manusia terabaikan untuk ditangani. Pengembangan yang tidak utuh pada perkembangannya akan berakibat terbentuknya kepribadian yang pincang dan tidak mantap (lazimnya disebut pengembangan patologis).
Tingkat keutuhan perkembangan hakikat manusia ditentukan oleh 2 faktor, yaitu kualitas dimensi hakikat manusia itu sendiri secara potensial dan kualitas pendidikan yang disediakan untuk memberi pelayanan atas perkembangannya. Menurut Mujidin (2005) pengembangan manusia secara utuh sebagai pribadi meliputi segala dimensi dan kompleksitasnya. Pengembangan jangan terfokus pada yang simpel misalnya aspek fisik/emosi atau intelektual dari pribadi dengan meninggalkan lebih banyak alam kedalaman yang tak tergali, dan karenanya tak terealisasikan. Pendidikan memungkinkan setiap orang mampu mengembangkan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermanfaat.
F.         Konsep Manusia Seutuhnya
Sebelumnya telah diuraikan konsep pengembangan manusia yang bersifat utuh dan tidak utuh. Selanjutnya kita pun perlu memahami konsep manusia seutuhnya. Pembangunan manusia seutuhnya merupakan tujuan pendidikan nasional yang tersirat dalam Pembukaan Undang-undang Dasar (UUD) 1945, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Sejalan dengan pembukaan itu, pada batang tubuh UUD 1945 diantaranya Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28 C ayat (1), Pasal 31, dan Pasal 32 juga mengamanatkan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlaq mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang. UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dengan jelas menegaskan bahwa pendidikan merupakan upaya memberdayakan peserta didik untuk berkembang menjadi manusia Indonesia seutuhnya, yaitu yang menjunjung tinggi dan memegang dengan teguh norma dan nilai yaitu norma agama dan kemanusiaan, norma persatuan bangsa, norma kerakyatan dan demokrasi, dan norma keadilan sosial.
Manusia (masyarakat) Indonesia seutuhnya adalah manusia (masyarakat) yang memiliki nilai keadilan, adil dengan sesama dan dengan alam sekitarnya. Manusia (masyarakat) seutuhnya adalah manusia (masyarakat) yang memiliki moral bersyukur, bersabar dan berikhlas atau dengan kata lain memiliki jiwa spiritual atau kecerdasan spiritual (Suhartono, 2007). Manusia seutuhnya yaitu manusia yang dididik untuk mencapai keselarasan dan keseimbangan, baik dalam hidup manusia sebagai pribadi, makhluk sosial, dalam hubungan manusia dengan masyarakat, sesama manusia, dengan alam, dan dengan Tuhannya dalam mengejar kemajuan dan kebahagiaan rohaniah (Pelly & Menanti, 1994).
Membangun manusia Indonesia seutuhnya berarti membangun manusia yang memiliki kecerdasan, watak dan kepribadian Indonesia. Kecerdasan berarti kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual. Memiliki watak berarti memiliki watak yang lembut, sopan, penyayang dan sebagainya. Kepribadian artinya memiliki kepribadian pekerja keras, disiplin sesuai dengan kepribadian Indonesia. Manusia seperti inilah yang akan dibentuk oleh pendidikan (Idris, 2013). Manusia seutuhnya tertuang dengan jelas dalam tujuan pendidikan Indonesia yaitu mewujudkan manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa (religious) dan berbudi pekerti luhur (bermoral), memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan ( Soedijarto,  2008).
Manusia akan menjadi manusia yang sebenarnya apabila mendapat pendidikan. Manusia yang tidak memperoleh pendidikan tidak akanmampu menjalani kehidupannya dengan sempurna, tidak akan berguna bagi kehidupan. Proses pendidikan menjadi sarana untuk memanusiakan manusia dan mewariskan kebudayaan kepada generasi penerusnya. Terkait dengan manusia seutuhnya, Prayitno & Amti (2004) dengan merujuk dari para pemikir Barat, khusunya dalam bidang psikohumanistik, seperti Frankl, Jung, Maslow dan Rogers telah pula mengajukan berbagai rumusan sejalan dengan konsep manusia seutuhnya. Mereka memakai istilah (berfungsi unsur-unsur kemanusiaan secar ideal) sebagai perwujudan manusia seutuhnya.  Ciri-ciri yang dapat berfungsi secara ideal itu adalah:
1.         Menurut Frankl
a.        Mencapai penghayatan yang penuh tentang makna hidup dan kehidupan
b.        Bebas memilih dan bertindak
c.         Bertanggung jawab secara pribadi terhadap segala tindakan
d.       Melibatkan diri dalam kehidupan bersama orang lain.
2.         Menurut Jung
a.        Memiliki pemahaman yang mendalam tentang diri sendiri
b.        Menerima diri sendiri, termasuk kekuatan dan kelemahannya
c.         Menerima dan bersikap toleran terhadap hakikat dan keberadaan kemanusiaan secara umum
d.       Menerima hal-hal yang masih belum dapat diketahui atau misterius, serta bersedia mempertimbangkan hal-hal yang bersifat tidak rasional tanpa meninggalkan cara-cara berpikir logis.
3.         Menurut Maslow
Manusia yang berfungsi secara ideal ialah mereka yang mengembangkan seluruh kemampuan dan potensinya. Lebih jauh, Maslow menyebutkan bahwa mereka adalah orang-orang yang telah berhasil mewujudkan diri sendiri secara penuh. Dari pandanganpandanagn terhadap manusia seperti yang telah dijelaskan di atas, secara sederhana hakikat manusia dapat dijelaskan sebagai berikut.
a.        Manusia sebagai makhluk individu, bahwa mansuia sebagai makhluk individu yang mempunyai ciri-ciri atau kekhasan tersendiri. Oleh karena itu manusia juga disebut sebagai makhluk yang unik.
b.        Manusia sebagai makhluk sosial, bahwa manusia sebagai makhluk sosial mempunyai sifat sosialitas yang menjadi dasar dan tujuan dari kehidupan manusia yang sewajarnya.
c.         Manusia sebagai makhluk psikofisik, bahwa manusia merupakan totalitas jasmani dan rohani. Setiap bagian tubuh dan kegiatan prganisme yang biologis sifatnya pasti mengabdikan diri kepada aktivitas psikis, juga sebaliknya.
d.       Manusia sebagai makhluk monodualis, bahwa manusia sebagai makhluk monodualis tidak dapat memisahkan antara jiwa dan raga sebagai satu kesatuan dalam perkembangannya.
e.        Manusia sebagai makhluk bermoral, bahwa manusia yang normal pada intinya mengambil keputusan susila dan mampu membedakan halhal yang baik dan buruk. Selain itu juga mampu membedakan hal yang benar dan yang salah untuk kemudian mengarahkan hidupnya ke tujuan-tujuan yang berarti sesuai dengan pilihan dan keputusan hati nurani dalam mempertimbangkan baik/buruk dan salah/benar.
f.         Manusia sebagai makhluk religius, bahwa manusia sebagai makhluk religius mengndung kemungkinan baik dan jahat, sesuai dengan pandangan manusia itu sendiri sebagai makhluk Tuhan. Manusia mempunyai nafsu-nafsu baik maupun jahat.
g.        Manusia sebagai makhluk berpikir/filosofis, bahwa manusia itu mempunyai akal dan budi. Akal digunakan untuk berpikir agar menjadi berbudi.
h.        Manusia sebagai makhluk berketerampilan, bahwa manusia sudah mempunyai bakat dan minat masing-masing dalam mengembangkan keterampilannya.
Pemberdayaan manusia seutuhnya berarti memperlakukan peserta didik sebagai subyek merupakan penghargaan terhadap peserta didik sebagai manusia yang utuh. Peserta didik memiliki hak untuk mengaktualisasikan dirinya secara optimal dalam aspek kecerdasan intelektual, spiritual, sosial, dan kinestetik. Paradigma ini merupakan fondasi dari pendidikan yang menyiapkan peserta didik untuk berhasil sebagai pribadi yang mandiri (makhluk individu), sebagai elemen dari sistem sosial yang saling berinteraksi dan mendukung satu sama lain (makhluk sosial) dan sebagai pemimpin bagi terwujudnya kehidupan yang lebih baik di muka bumi (makhluk tuhan) (Kemendiknas, 2010).

No comments:

Post a Comment