BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Hakikat
Manusia
Secara
faktual, kegiatan pendidikan merupakan kegiatan antar manusia, oleh manusia dan
untuk manusia. Para ahli telah mengemukakan berbagai pendapat tentang
pendidikan, pada umumya mereka sepakat bahwa pendidikan itu diberikan atau
diselenggarakan dalam rangka mengembangkan seluruh potensi kemanusiaan ke arah
yang positif (Dardiri, 2010). Kegiatan pendidikan merupakan kegiatan yang
melibatkan manusia secara penuh, dilakukan oleh manusia, antar manusia, dan
untuk manusia. Dengan demikian berbicara tentang pendidikan tidak dapat
dilepaskan dari pembicaraan tentang manusia. (Khasina, 2013).
Manusia
adalah keyword yang harus dipahami
terlebih dahulu bila ingin memahami pendidikan (Sardiman, 2007). Socrates
mengatakan bahwa belajar yang sebenarnya adalah belajar tentang manusia.
Berdasarkan fakta adanya pertautan yang sangat intim antara pendidikan dan
manusia, maka sangat masuk akan apabila kajian dalam mata kuliah pengantar
pendidikan ini diawali dengan diskusi atau bahasan menyangkut hakikat manusia
itu sendiri.
Manusia
menurut Socrates adalah makhluk yang selalu ingin tahu tentang segala sesuatu.
Kewajiban setiap orang untuk mengetahui dirinya sendiri lebih dahulu jika ingin
mengetahui hal-hal di luar dirinya. Manusia ternyata tidak cukup hanya mengkaji
tentang alam sekitarnya, ia selanjutnya juga berpikir tentang Tuhan dan
berbagai aspek yang berhubungan dengan kehidupan. Manusia akhirnya juga
berpikir segala sesuatu tentang dirinya, yaitu siapa, bagaimana, dimana dan untuk
apa manusia itu diciptakan (Khobir, 1997). Manusia adalah makhluk yang pandai
bertanya, bahkan ia mempertanyakan dirinya sendiri, keberadaannya, dan dunia
seluruhnya (van der Weij, 1991).
Berdiskusi
tentang manusia akan selalu menarik dan karena menarik itulah maka masalahnya
tidak pernah tuntas laksana sebuah permainan yang tak kunjung usai. Hal ini
menjadi wajar mengingat manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang
menakjubkan, makhluk unik multidimensi, serba meliputi, sangat terbuka, dan
mempunyai potensi agung (Nawawi, 1996).
Bila
ia fokus pada kajian kemampuan manusia berpikir maka ia akan memberi pengertian
manusia dengan animal rational, hayawan
nathiq, atau hewan yang
berpikir/bernalar. Jika ia lebih berfokus pada adanya pembawaan kodrat
manusia untuk hidup bermasyarakat, maka tentu memberi pengertian manusia
sebagai zoon politicon, homo socius,
atau makhluk sosial. Seseorang yang
menitikberatkan pada aktivitas manusia untuk mencukupi kebutuhan hidup, maka
pengertiannya adalah homo economicus
atau makhluk ekonomi. Sementara itu,
bila sudut pandang seseorang lebih pada keistimewaan manusia menggunakan
simbol-simbol seperti pemikiran Cassirer, maka tentu pengertian manusia
menurutnya adalah animal symbolicum
(Basyir, 1984).
Berbeda
dengan lainnya, orang yang berpandangan bahwa manusia adalah makhluk yang
selalu membuat bentuk-bentuk baru dari bahanbahan alam untuk mencukupi segala
kebutuhan hidupnya, maka pengertian yang diberikan pastilah sama dengan Bergson
yaitu homo faber, hewan pembuat
perkakas atau tool-making animal (
Heschel, 1965). Banyak pakar yang
mendefinisikan manusia dengan istilah homo
sapiens, artinya makhluk yang mempunyai budi (akal). Revesz menyebut
manusia sebagai homo loquen yaitu
makhluk yang pandai menciptakan bahasa, menjelmakan pikiran dan perasaan dalam
kata-kata yang tersusun. Aristoteles
sendiri mengatakan manusia zoon politicon
atau animal ridens, makhluk yang bisa
humor. Homo religious yaitu manusia pada dasarnya beragama (Pulungan,
1984).
Dengan
ungkapan yang berbeda kita mengenal pula definisi tentang manusia yaitu animal educandum, hewan yang memerlukan
pendidikan. Tanpa pendidikan manusia tidak mungkin menjadi manusia atau
mewujudkan kemanusiaannya. Manusia adalah animal
educabili, berarti ia mempunyai potensi untuk dididik atau dikembangkan.
Apabila manusia itu dilahirkan sudah sempurna maka manusia tidak lagi
memerlukan pendidikan. Manusia diciptakan oleh Maha Pencipta dengan segala
kesempurnaannya tetapi juga dilahirkan di dalam berbagai kelemahannya sebagai
manusia, oleh sebab itu ia memerlukan pendidikan untuk mewujudkan
kemanusiaannya sebagai potensi. Harus diingat pula bahwa proses pendidikan
bukan suatu proses satu arah tetapi suatu proses dua arah antara pendidik dan
peserta didik. Tugas pendidik adalah tugas yang paling tua di dunia ini
sebagaimana tugas seorang ibu sebagai pendidik utama bagi anak-anaknya. Jadi
hakikat manusia bukan hanya sebagai animal
educandum, animal educabili, tetapi juga sebagai animal educator.
Sains
modern cenderung memahami manusia dari aspek spasial dan biologisnya sebagai
benda dan hewan. Pemahaman ini maksimal menempatkan manusia sebagai “hewan
plus”. Jiwa manusia, tak lebih dari metabolisme yang menghasilkan panas dan
darah hangat, respirasi paru-paru, otak yang besar, pikiran terus berpetualang,
kreativitas tangan, ingatan, mimpi, kehendak, organisasi sosial, kekeluargaan,
kesadaran, dan kebudayaan. Ini sejatinya adalah lanjutan dari pemikiran
filosofis Aristoteles yang menempatkan manusia sebagai unit dari kerajaan
hewan. Manusia dalam Aristotelian “secara kodrati adalah hewan beradab” dan
“hewan yang mampu mengumpulkan pengetahuan”, selain sebagai hewan yang berjalan
di atas dua kaki, hewan berpolitik, satu-satunya hewan yang punya kemampuan
memilih, dan sebagai hewan peniru atau imitative
( Nugroho, 2012).
Mengutip
pendapat Heschel, lebih lanjut menurut Nugroho (2012) konsep yang tak kalah
buruk dari gagasan “manusia adalah hewan plus”, adalah konsep modern bahwa
manusia itu mesin. Manusia hanyalah “mesin yang bila kita masukkan makanan ke
dalamnya akan memproduksi pikiran”, suatu “rakitan dan karya pertukangan yang
ulung”. Pemikiran ini pertama kali dieksplisitkan oleh La Mettrie (170951)
dalam L’Homme machine yang menggambarkan
aktivitas psikis manusia sebagai fungsi-fungsi mekanis dari otak.
Dalam
konteks yang lain, menurut Kosasih (2012) pertanyaan filosofis atau mendasar
tentang sosok manusia adalah “What is
man, and what of is man made?”Apa dan terbuat dari apa manusia itu. Untuk
menjawab pertanyaan tersebut banyak filosof dengan pandangan filsafatnya yang
memberikan batasan atau definisi tentang manusia. Sigmund Freud misalnya
berpandangan bahwa hakikat manusia sebenarnya bisa ditinjau dari struktur jiwa
yang dimiliki yang terdiri dari tiga hal, yaitu das Es, das Ich dan das Uber
Ich. Das Es bagian dasar (the Id)
yang sama sekali terisolasi dari dunia luar, hanya mementingkan masalah
kesenangan dan kepuasan (lust principle) yang merupakan sumber nafsu kehidupan, yakni hasrat-hasrat
biologis (libido-seksualis) dan
bersifat a-sadar, amoral a-sosial dan egoistis. Das Ich (aku = ego), sifatnya lebih baik dari pada das Es, das Ich
dapat mengerti dunia a-sadar, a-sosial dan amoral, lebih realistis tapi belum
ethis.Yang ketiga das Uber Ich (superego) , ini adalah bagian jiwa yang
paling tinggi dan paling sadar norma dan paling luhur, bagian ini sering
dinamakan budinurani (consciencia). Superego atau das Uber Ich ini selalu menjunjung tinggi nilai-nilai moral, etika,
dan religius.
2.1.1
Polarisasi Pemikiran tentang Manusia
Banyaknya
definisi tentang manusia, membuktikan bahwa manusia adalah makhluk
multidimensional, manusia memiliki banyak wajah ( Dardiri, 2010). Berdasarkan
fakta tersebut, maka Piedade (1986) mencoba membuat polarisasi pemikiran
tentang manusia, yaitu pola pemikiran biologis, pola pemikiran psikologis, pola
pemikiran sosial-budaya, dan pola pemikiran teologis (Dardiri lebih menyukai
menggunakan istilah religius daripada teologis).
ü Manusia
Menurut Pola Pemikiran Biologis
Menurut pola
pemikiran ini, manusia dan kemampuan kreatifnya dikaji dari struktur
fisiologisnya. Salah satu tokoh dalam pola ini adalah Portmann yang berpendapat
bahwa kehidupan manusia merupakan sesuatu yang bersifat sui generis meskipun
terdapat kesamaan-kesamaan tertentu dengan kehidupan hewan atau binatang. Dia
menekankan aktivitas manusia yang khas, yakni bahasa, posisi vertikal tubuh,
dan ritme pertumbuhannya. Semua sifat ini timbul dari kerja sama antara proses
keturunan dan proses sosial-budaya. Aspek individualitas manusia bersama sifat
sosialnya membentuk keterbukaan manusia yang berbeda dengan ketertutupan dan
pembatasan deterministis binatang oleh lingkungannya. Manusia tidak membiarkan
dirinya ditentukan oleh alam lingkungannya. Menurut pola ini, manusia dipahami
dari sisi internalitas, yaitu manusia sebagai pusat kegiatan internal yang
menggunakan bentuk lahiriah tubuhnya untuk mengekspresikan diri dalam
komunikasi dengan sesamanya.
ü Manusia
Menurut Pola Psikolgis
Kekhasan pola
ini adalah perpaduan antara metode-metode psikologi eksperimental dan suatu
pendekatan filosofis tertentu, misalnya fenomenologi. Tokoh-tokoh yang
berpengaruh besar pada pola ini antara lain Ludwig Binswanger, Levis Strauss,
dan Erich Fromm. Binswanger mengembangkan suatu analisis eksistensial yang
bertitik tolak dari psikoanalisis Freud. Namun pendirian Binswanger bertolak
belakang dengan pendirian Freud tentang kawasan bawah sadar manusia yang
terungkap dalam mimpi, nafsu, dan
dorongan seksual. Freud dengan psikoanalisisnya lebih menekankan faktor
internal manusia, sementara pandangan behaviorisme lebih menekankan faktor
eksternal. Pandangan psikologi humanistik lebih menekankan kemampuaan manusia
untuk mengarahkan dirinya, baik karena pengaruh faktor internal maupun
eksternal. Hal ini menunjukkan bahwa manusia tidak serta merta atau otomatis
melakukan suatu tindakan berdasarkan desakan faktor internal, karena desakan
faktor internal bisa saja ditangguhkan pelaksanaannya.
ü Manusia
Menurut Pola Pemikiran Sosial-Budaya
Manusia
menurut pola pemikiran ini tampil dalam dimensi sosial dan kebudayaannya, dalam
hubungannya dengan kemampuan untuk membentuk sejarah. Menurut pola ini, kodrat
manusia tidak hanya mengenal satu bentuk yang uniform (seragam) melainkan
berbagai bentuk. Salah satu tokoh yang termasuk dalam pola ini adalah Erich
Rothacker. Dia berupaya memahami kebudayaan setiap bangsa melalui suatu proses
yang dinamakan reduksi pada jiwa-jiwa nasional dan melalui mitos-mitos. Reduksi pada jiwa-jiwa nasional adalah proses
mempelajari suatu kebudayaan tertentu dengan mengembalikannya pada sikap-sikap
dasar serta watak etnis yang melahirkan pandangan bangsa yang bersangkutan
tentang dunia, atau weltanschauung.
Pengalaman purba
itu dapat direduksi lagi. Dengan demikian, meskipun orang menciptakan dan
mengembangkan lingkup kebudayaan nasionalnya, kemungkinan-kemungkinan
pelaksanaan dan pengembangannya sudah ditentukan, karena semuanya itu sudah
terkandung dalam warisan ras. Tokoh lain yang dapat dimasukkan dalam pola ini adalah
Ernst Cassirer yang merumuskan manusia sebagai animal symbolicum, makhluk yang
pandai menggunakan simbol.
ü Manusia
Menurut Pola Pemikiran Religius
Pola
pemikiran ini bertolak dari pandangan manusia sebagai homo religiosus. Salah satu tokohnya adalah Mircea Eliade. Menurut Eliade, homo religiosus adalah tipe manusia yang hidup dalam suatu alam
yang sakral, penuh dengan nilai-nilai religius dan dapat menikmati sakralitas
yang ada dan tampak pada alam semesta, alam materi, alam tumbuh-tumbuhan, dan
manusia. Pengalaman dan penghayatan akan Yang Suci ini selanjutnya
mempengaruhi, membentuk, dan ikut menentukan corak serta cara hidupnya. Eliade
mempertentangkan homo religiosus
dengan alam homo non-religiosus,
yaitu manusia tidak beragama, manusia modern yang hidup di alam yang sudah
didesakralisasikan, bulat-bulat alamiah, apa adanya, dirasa atau dialami tanpa
sakralitas. Bagi manusia non-religiosus, kehidupan ini tidak sakral lagi,
melainkan profane saja.
Pembahasan
hakikat manusia tidak akan pernah selesai apabila hanya berdasarkan pada
pandangan-pandangan manusia sendiri yang mengandalkan kemampuan akal semata.
Oleh karena itu diperlukan penjelasan dari sumber yang meyakinkan, yaitu sumber
yang diperoleh langsung dari Tuhan sebagai Penciptanya yaitu Al-Qur’an.
Bagaimanapun harus disadari sepenuhnya bahwa manusia tidak lain adalah makhluk
ciptaan Allah SWT yang memiliki fitrah, akal, kalbu, kemauan, dan amanah.
Manusia
dengan segenap potensi (kemampuan) kejiwaan naluriah, seperti akal pikiran,
kalbu kemauan yang ditunjang dengan kemampuan jasmaniahnya, manusia akan mampu
melaksanakan amanah Allah dengan sebaik-baiknya. Pelaksanaan amanah mendorong
pencapaian derajat manusia yang sempurna (beriman, berilmu, dan beramal)
manakala manusia memiliki kemauan serta kemampuan menggunakan dan mengembangkan
segenap kemampuan. Manusia juga dianggap sebagai khalifah di bumi yang
mengemban tanggung jawab sosial yang berat. Sebagai khalifah, manusia merupakan
mahluk sosial yang multiinteraksi, memiliki tanggung jawab baik kepada Allah
maupun kepada sesama manusia. Hubungan dengan Allah merupakan hubungan yang
harus dibina manusia dimanapun ia berada. Hubungan manusia dengan manusia harus
dibangun atas dasar saling menghargai atau menghormati agar tercipta suasana
ideal, karena sejatinya manusia terbaik adalah manusia yang paling bermanfaat
bagi sesamanya (Hasan, 2006). Sebagaimana yang terdapat di dalam Al Qur’an,
Islam menegaskan bahwa manusia adalah makhluk Tuhan, baik sebagai makhluk
individu maupun sosial, mempunyai kedudukan yang sama di hadapan-Nya (Herawati,
2012).
Sehubungan
dengan itu, Al-Qur'an memperkenalkan tiga istillah kunci (key term) yang digunakan
untuk menunjukkan arti pokok manusia, yaitu al-Insan,
al-Basyar dan al-Nas. Kata
al-Insan dipakai untuk menyebut manusia dalam konteks kedudukan manusia sebagai
makhluk yang mempunyai kelebihan-kelebihan, yaitu 1) manusia sebagai makhluk
berpikir, 2) makhluk pembawa amanat, dan 3) manusia sebagai makhluk yang bertanggung
jawab pada semua yang diperbuat. Kata insan
menunjuk suatu pengertian adanya kaitan dengan sikap, yang lahir dari
adanya kesadaran penalaran (Asy'arie, 1992) Kata insan digunakan alQur'an untuk
menunjukkan kepada manusia dengan seluruh totalitasnya, jiwa dan raga. Manusia
yang berbeda antara seseorang dengan yang lain adalah akibat perbedaan fisik,
mental, dan kecerdasan ( Shihab, 1996).
Kata al-Insan yang dengan segala bentuk
derivasinya dapat disimpulkan bahwa secara proses lahirnya diawali dengan konsep
spiritual, namun dari aspek fisik mengandung makna jinak sebagai makhluk yang
memiliki sifat keramahan dan kemampuan yang sangat tinggi. Istilah lain yang
sering digunakan dalam al-Qur’an ialah makhluk sosial dan makhluk kultural
(Salim, 2002). Menurut Seha (2010) al-Qur’an secara konsepsional mencanangkan
sesuatu bentuk membangun hidup bersama, tolong menolong dalam kebaikan dengan
konsep ta‘?wun dalam QS Al-Maidah ayat 2.
Kata
al-Basyar dipakai untuk menyebut
semua makhluk baik lakilaki ataupun perempuan, baik satu ataupun banyak. Kata
ini memberikan referensi kepada manusia sebagai makhluk biologis yang mempunyai
bentuk tubuh yang mengalami pertumbuhan dan perekembangan jasmani. Selanjutnya
kata al-Nas, mengacu kepada manusia
sebagai makhluk sosial. Penjelasan konsep ini dapat ditunjukkan dalam dua hal,
yaitu 1) banyak ayat yang menunjukkan kelompok-kelompok sosial dengan
karakteristiknya masing-masing yang satu dengan yang lain belum tentu sama dan
2) pengelompokkan manusia berdasarkan mayoritas (Hasan, 2004).
Selain
ketiga istilah kunci itu, dikenal pula istilah abd Allah, Bani Adam, Bani Hasyr, dan Khalifah Allah. Konsep Abd Allah menunjukkan bahwa manusia adalah
hamba yang segala bentuk aktivitas kehidupannya untuk menghambakan diri kepada
Allah. Konsep Bani Adam berarti manusia berasal dari nenek moyang yang sama,
yaitu Adam dan Hawa yang terdiri dari berbagai ras. Konsep Bani Hasyr
menggambarkan manusia sebagai makhluk biologis terdiri dari unsur materi yang
membutuhkan makan dan minum, bukan keturunan makhluk bukan manusia. Konsep
Khalifah Allah menunjukkan manusia mengemban tugas untuk mewujudkan serta
membina sebuah tatanan kehidupan yang harmonis di bumi (Rakhmat, 2011).
2.1.2
Pandangan Para Ahli Mengenai Hakikat
Manusia
Prayitno
(2009) secara sistematis mengemukakan beberapa pandangan tentang manusia dengan
merujuk dari pandangan para ahli berikut mulai dari pandangan yang paling lama
sampai pada pandangan yang paling baru:
ü Plato.
Manusia pada hakikatnya ditandai oleh adanya kesatuan antara apa yang ada pada
dirinya, yaitu pikiran, kehendak, dan nafsu.
ü Hsun
Tsu. Manusia pada hakikatnya adalah jahat, oleh karenanya untuk
mengembangkannnya diperlukan latihan dan disiplin yang keras, terutama disiplin
kepada tubuhnya.
ü Agustinus.
Manusia merupakan kesatuan jiwa dan badan, yang dimotivasi oleh prinsip
kebahagiaan; kesemuanya itu diwarnai oleh dosa warisan dari pendahulunya.
ü Descarten. Manusia terdiri dari unsur
dualistik, jiwa dan badan. Jiwa tidak bersifat bendawi, abadi dan tidak dapat
mati, sedangkan badan bersifat bendawi dapat sirna dan menjadi sasaran filsafat
fisika. Antara badan dan jiwa terdapat pertentangan yang berkelanjutan tak
terjembatani; badan dan jiwa itu masing-masing mewujudkan diri dalam berbagai
hal sendiri-sendiri. Namun demikian, manusia adalah jiwanya.
Pandangan
yang lebih baru tentang manusia, antara lain dikemukakan oleh pemikir-pemikir
sebagai berikut:
ü Freud.
Manusia tidak memegang nasibnya sendiri. Tingkah laku manusia ditunjukan untuk
memenuhi kebutuhan biologis dan instinginstingnya, dan dikendalikan oleh
pengalaman-pengalaman masa lampau, dan ditentukan oleh faktor-faktor
interpersonal dan intrapsikis.
ü Adler.
Manusia tidak semata-mata bertujuan memuaskan dorongandorongan dirinya, tetapi
juga termotivasi untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan pemenuhan
kebutuhan dalam mencapai segala sesuatu. Tingkah laku individu ditentukan oleh
lingkungan, pembawaan, dan individu itu sendiri.
ü Rogers.
Manusia adalah makhluk rasional, tersosialisasikan, dan dapat menentukan
nasibnya sendiri. Dalam kondisi yang memungkinkan, manusia akan mampu
mengarahkan diri sendiri, maju, dan menjadi individu yang positif dan
konstruktif.
ü Skinner.
Manusia adalah makhluk reaktif yang tingkah lakunya dikontrol oleh
faktor-faktor di luar dirinya. Tingkah laku manusia dipelajari ketika individu
berinteraksi dengan lingkungannya, melalui hukum-hukum belajar.
ü Glasser.
Tindakan manusia didorong untuk memenuhi kebutuhan dasar (baik psikologikal
maupun fisiologikal), yang sama untuk semua orang. Kebutuhan fisologikal adalah
segala sesuatu untuk mempertahankan kesadaran organisme, sedangkan kebutuhan
psikologikal terarah untuk mencintai dan dicintai, serta berguna bagi diri
sendiri dan orang lain.
ü Ellis.
Manusia memiliki kemampuan inheren untuk berbuat secara rasional ataupun tidak
rasional. Berpikir dan merasa itu sangat dekat dan bergandengan satu sama lain:
pikiran seseorang dapat menjadi perasaannya, dan sebaliknya.
ü Sartre.
Manusia dipandang sebagai nol yang me-nol-kan diri, pour soi yang dirinya itu
bukan merupakan objek, melainkan subjek, dan secara kodrati dirinya itu adalah
bebas.
2.2
Wujud
Sifat Hakikat Manusia
Kaum
eksistensialis berpandangan bahwa wujud sifat hakikat manusia terdiri dari
tujuh, meliputi kemampuan menyadari diri, kemampuan bereksistensi, kata hati,
tanggung jawab, rasa kebebasan, kewajiban dan hak, dan kemampuan menghayati
kebahagiaan (Tirtarahardja & Sulo, 2005). Uraian dari masing-masing wujud
sifat hakikat tersebut akan diuraikan satu persatu, sebagai berikut.
2.2.1
Kemampuan menyadari diri
Kemampuan menyadari
diri adalah bahwa manusia itu berbeda dengan makhluk lain, karena manusia mampu
mengambil jarak dengan obyeknya termasuk mengambil jarak terhadap dirinya
sendiri. Dia bisa mengambil jarak terhadap obyek di luar maupun ke dalam diri
sendiri. Pengambilan jarak terhadap obyek di luar memungkinkan manusia
mengembangkan aspek sosialnya, sedangkan pengambilan jarak terhadap diri
sendiri, memungkinkaan manusia mengembangkan aspek individualnya.
2.2.2
Kemampuan bereksistensi
Adanya kemampuan mengambil jarak
dengan obyekya berarti manusia mampu menembus atau menerobos dan mengatasi
batas-batas yang membelenggu dirinya. Kemampuan menerobos ini bukan hanya dalam
kaitannya dengan soal ruang melainkan juga soal waktu. Manusia tidak
terbelenggu oleh ruang (di ruang ini atau di sini), dia juga tidak terbelenggu
oleh waktu (waktu ini atau sekarang ini), tetapi mampu menembus ke masa depan
atau ke masa lampau. Kemampuan menempatkan diri dan menembus inilah yang
disebut kemampuan bereksistensi. Justru karena mampu bereksistensi inilah, maka
dalam dirinya terdapat unsur kebebasan.
2.2.3
Kata hati
Kata hati adalah
kemampuan membuat keputusan tentang yang baik dan yang buruk bagi manusia
sebagai manusia. Orang yang tidak memiliki pertimbangan dan kemampuan untuk
mengambil keputusan tentang yang baik atau yang buruk, atau pun kemampuannya
dalam mengambil keputusan tersebut dari sudut pandang tertentu saja, misalnya
dari sudut kepentingannya sendiri dikatakan bahwa kata hatinya tidak cukup
tajam. Manusia memiliki pengertian yang menyertai tentang apa yang akan, yang
sedang, dan yang telah dibuatnya, bahkan mengerti pula akibat keputusannya baik
atau buruk bagi manusia sebagai manusia.
2.2.4
Tanggung jawab
Tanggung jawab adalah kesediaan untuk menanggung akibat dari perbuatan yang
menuntut jawab. Wujud tanggung jawab bermacammacam. Ada tanggung jawab kepada
diri sendiri, kepada masyarakat dan kepada Tuhan. Tanggung jawab kepada diri
sendiri berarti menanggung tuntutan kata hati, misalnya dalam bentuk penyesalan
yang mendalam. Tanggung jawab kepada masyarakat berarti menanggung tuntutan
norma-norma sosial, yang berarti siap menanggung sanksi sosial manakala
tanggung jawab sosial itu tidak dilaksanakan. Tanggung jawab kepada Tuhan
berarti menanggung tuntutannorma-norma agama, seperti siap menanggung perasaan
berdosa, terkutuk, dan sebagainya.
2.2.5
Rasa kebebasan
Rasa kebebasan adalah perasaan yang
dimiliki oleh manusia untuk tidak terikat oleh sesuatu, selain terikat (sesuai)
dengan tuntutan kodrat manusia. Manusia bebas berbuat sepanjang tidak
bertentangan ( sesuai) dengan tuntutan kodratnya sebagai manusia. Orang mungkin
hanya merasakan adanya kebebasan batin apabila ikatan-ikatan yang ada telah
menyatu dengan dirinya, dan menjiwai segenap perbuatannya.
2.2.6
Kewajiban dan hak
Kewajiban
dan hak adalah dua macam gejala yang
timbul sebagai manifestasi dari manusia sebagai makhluk sosial. Keduanya tidak
bisa dilepaskan satu sama lain, karena yang satu mengandaikan yang lain. Hak
tak ada tanpa kewajiban, dan sebaliknya. Kenyataan sehari-hari menunjukkan
bahwa hak sering diasosiasikan dengan sesuatu yang menyenangkan, sedangkan kewajiban
sering diasosiasikan dengan beban. Ternyata, kewajiban itu suatu keniscayaan,
artinya, selama seseorang menyebut dirinya manusia dan mau dipandang sebagai
manusia, maka wajib itu menjadi suatu keniscayaan, karena jika mengelaknya
berarti dia mengingkari kemanusiaannya sebagai makhluk sosial.
2.2.7
Kemampuan menghayati kebahagiaan
Kebahagiaan
manusia itu tidak terletak pada keadaannya sendiri secara faktual, atau pun
pada rangkaian prosesnya, maupun pada perasaan yang diakibatkannya, tetapi
terletak pada kesanggupannya atau kemampuannya menghayati semuanya itu dengan
keheningan jiwa, dan mendudukkan hal-hal tersebut dalam rangkaian atau ikatan
tiga hal, yaitu usaha, norma-norma dan takdir.
C. Manusia
Sebagai Makhluk Monoprularis dan Monodualis
Hakikat manusia bila
dikaitkan pada kesatuan unsur-unsur yang membentuknya, ada yang mengatakan
monodualis dan juga monopluralis. Pandangan monodualis menetapkan hakikat
manusia pada kesatuan dua unsur. Kata mono
berasal dari bahasa Yunani, yaitu monos
yang berarti tunggal atau satu dan dualism
(dualist) yang berarti dua.
Monodualis berarti suatu keadaan yang terbagi dua atau terdiri dari dua bagian
tetapi terikat satu. Pandanga monodualis menggap manusia tidak dilihat dari
asas-asas pembentukan dirinya seperti monisme atau pluralisme, secara
fungsional manusia hidup dan berada baik dari aspek dualitas maupun pluralitas
metafisik. Sementara itu, pluralis merupakan kualitas atau kondisi tentang ada
lebih dari satu bagian atau bentuk. Pandangan monopluralis meletakkan hakikat
manusia pada kesatuan semua unsur yang membentuknya (Asy’arie, 2001).
Manusia adalah makhluk
monopluralis, maksudnya makhluk yang memiliki banyak unsur kodrat (plural),
tetapi merupakan satu kesatuan yang utuh (mono). Jadi, manusia terdiri dari
banyak unsur kodrat yang merupakan satu kesatuan yang utuh. Dilihat dari segi kedudukan,
susunan, dan sifatnya masing-masing bersifat monodualis. Riciannya yaitu
dilihat dari kedudukan kodratnya manusia adalah makhluk monodualis; terdiri
dari dua unsur (dualis), tetapi merupakan satu kesatuan (mono); yakni sebagai
makhluk pribadi berdiri sendiri sekaligus sebagai makhluk Tuhan. Dilihat dari
susunan kodratnya, manusia sebagai makhluk monodualis, terdiri dari dua unsur
yakni unsur raga dan unsur jiwa (dualis), tetapi merupakan satu kesatuan yang
utuh (mono). Dilihat dari sifat kodratnya, manusia juga sebagai makhluk
monodualis, yakniterdiri dari unsur individual dan unsur sosial (dualis),
tetapi merupakan satu kesatuan yang utuh (mono) (Dardiri, 2010; Dardiri, 2011).
Raga pribadi Makhluk
berdiri sendiri
Vegetatif Raga
AnimalRasa
Individu
|
Kesepuluh unsur
kodrati manusia tersebut seperti pada Gambar 1.1 berikut.
Gambar
1.1 Sepuluh Unsur Kodrati Manusia
( Sumber: Dardiri, 2011)
Menurut sudut pandang susunan
kodrat manusia monodualis, manusia hakikatnya adalah tersusun atas jiwa dan
raga. Jiwa tanpa raga bukan manusia, demikian juga raga tanpa jiwa juga bukan
manusia, dengan demikian jelaslah bahwa manusia ini disusun atas dua hal
tersebut. Jiwa manusia ini tersusun atas sumber daya: akal, rasa, kehendak,
sedangkan raga manusia tersusun atas zat benda mati, zat nabati, dan zat
hewani.
Menurut sudut pandang
sifat kodrat manusia monodualis, manusia hakikatnya adalah bersifat individu
dan juga bersifat sosial. Hal ini dapat dibuktikan bahwa manusia dapat
merasakan bahwa sewaktuwaktu sifat individunya yang lebih besar dan dapat juga
sewaktu-waktu sifat sosialnya yang lebih dominan. Dua sifat kodrat ini tidak
dapat dihilangkan salah satu atau kedua-duanya, karena merupakan satu kesatuan
yang tidak terpisahkan sebagai unsur kodrat manusia. Sifat kodrat manusia
sebagai makhluk sosial, dalam kehidupannya tidak dapat hidup sendiri namun
selalu membutuhkan orang lain dalam bentuk hubungan interaksi sosial, dan dari
interaksi akan menumbuhkan suatu komunitas atau masyarakat.
Menurut
sudut pandang sifat kodrat manusia monodualis, manusia adalah makhluk pribadi
berdiri sendiri sekaligus sebagai makhluk Tuhan. Sebagai makhluk pribadi
berdiri sendiri, manusia dalam batas-batas tertentu memiliki kemauan bebas (free will) yang menjadikan manusia
memiliki kemandirian dan kebebasan. Sebagai makhluk Tuhan, manusia tidak bisa
melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan Tuhan (takdir-Nya).
D. Dimensi Hakikat Manusia
Manusia
adalah makhluk berdimensi banyak, yakni dimensi keindividualan, dimensi
kesosialan, dimensi kesusilaan, dimensi keberagamaan (religiusitas), dimensi
kesejarahan (historis), dimensi komunikasi, dan dimensi dinamika.
1. Dimensi
Keindividualan
Manusia adalah suatu
kesatuan yang tak dapat dibagi-bagi antara aspek jasmani dan rohani. Manusia
juga bersifat unik atau khas, artinya berbeda antara manusia yang satu dengan
manusia lainnya baik secara fisik, psikis, maupun sosial. Menurut Tirtarahardja
& Sulo (2005) setiap individu memiliki keunikan. Setiap anak manusia
sebagai individu ketika dilahirkan telah dikaruniai potensi untuk menjadi diri
sendiri, berbeda dari yang lain. Tidak ada diri individu yang identik dengan
orang lain di dunia ini, bahkan dua anak kembar sejak lahir tidak bisa
dikatakan identik. Adanya individualitas ini menyebabkan setiap orang memiliki
kehendak, perasaan, cita-cita, kecenderungan, semangat, dan daya tahan yang
berbeda.
Individu dalam diri manusia terkait dengan
sisi luar manusia atau jasmani. Dengan individualitasnya manusia ada di dunia,
sehingga ia mampu berinteraksi dengan sesama dan lingkungannya. Individualitas
dalam setiap diri manusia berbeda dengan yang lain. Individualitas dalam diri
manusia berdasarkan pada sisi rohani, ini membuat manusia bukan sebuah ulangan
dari suatu jenis. Manusia itu berharga karena dirinya sendiri dan bukan karena
kesamaan dengan jenisnya. Perbedaan manusia dengan sesamanya tidak bersifat
kuantitatif tetapi bersifat kualitatif. Individualitas membuat manusia mampu
menampakkan sisi personalitasnya, yang membuat manusia memiliki keunikan dari
sesamanya (Sneijders, 2004).
Individu adalah
”orang-seorang”, sesuatu yang merupakan suatu keutuhan yang tidak dapat
dibagi-bagi (in devide). Setiap orang memiliki individualitas. Kesanggupan
untuk memikul tanggung jawab sendiri merupan ciri yang yang sangat esensial
dari adanya individualitas pada diri manusia. Setiap anak memiliki dorongan
untuk mandiri yang sangat kuat, meskipun di sisi lain pada anak terdapat rasa tidak
berdaya, sehingga memerlukan pihak lain yang dapat dijadikan tempat bergantung
untuk memberi perlindungan dan bimbingan.
Manusia
sebagai makhluk individu, tidak hanya dalam arti makhluk keseluruhan jiwa raga,
melainkan juga dalam arti bahwa tiap-tiap orang itu merupakan pribadi
(individu) yang khas menurut corak kepribadiannya, termasuk kecakapan-kecakapan
serta kelemahankelemahannya. Individu adalah seorang manusia yang tidak hanya
memiliki peranan yang khas di dalam lingkungan sosialnya, melainkan juga
memiliki kepribadian serta pola tingkah laku spesifik dirinya. Persepsi
terhadap individu atau hasil pengamatan manusia dengan segala maknanya
merupakan suatu keutuhan ciptaan Tuhan yang mempunyai tiga aspek melekat pada
dirinya, yaitu aspek organik jasmaniah, aspek psikis rohaniah, dan aspek sosial
kebersamaan. Ketiga aspek tersebut saling mempengaruhi, keguncangan pada satu
aspek akan membawa akibat pada aspek yang lainnya (Soelaeman, 1988).
2.
Dimensi
Kesosialan
Manusia itu pada
dasarnya adalah mahluk yang mampu bermasyarakat, memiliki kecenderungan untuk
bekerja sama, bergotongroyong, dan saling tolong-menolong. Menurut
Tirtarahardja & Sulo (2005) setiap
manusia dilahirkan telah dikaruniai potensi untuk hidup bersama dengan orang lain. Manusia dilahirkan
memiliki potensi sebagai makhluk sosial. Menurut Immanuel Kant, manusia hanya menjadi manusia jika berada di antara
manusia. Hidup bersama dan berada di antara manusia lain, akan memungkinkan seseorang dapat
mengembangkan kemanusiaannya. Sebagai makhluk sosial, manusia saling berinteraksi. Hanya dalam berinteraksi
dengan sesamanya, dalam saling menerima dan memberi seseorang menyadari dan
menghayati kemanusiaannya.
Dimensi sosial ini
mambuat manusia tidak dapat hidup seorang diri. Manusia senantiasa membutuhkan
sesamanya. Kehadiran sesama dalam hidup manusia semakin membuat manusia
menyadari dirinya. Oleh karena itu, manusia selalu hidup pada suatu kelompok
sosial tertentu, dimana ia dapat belajar tentang nilai-nilai budaya yang
diciptakan oleh generasi sebelumnya. Kondisi ini akan membuat manusia bertindak
secara khas sebagai manusia. Kehadiran sesama bagi manusia juga membuat
hidupnya semakin memiliki arti (Sneijders, 2004).
Hidup
bersama dengan sesama membuat hidup manusia selalu terkait dalam relasi dengan
sesamanya. Terkait dengan itu, Bertens (1990) mengutip pendapat Martin Buber
bahwa dalam diri manusia terdapat dua jenis relasi yang mendasar. Relasi
tersebut ialah relasi akuobjek (I-it)
serta relasi aku-engkau (I-thou).
Relasi aku-objek (I-it) berarti manusia dapat mempergunakan serta
menguasai objek dengan sesuka hatinya. Relasi aku-engkau (I-thou) manusia menghargai sesamanya dengan segala keunikannya.
Sesama dipandang sebagai anugerah yang akan semakin menyempurnakan setiap
person yang terlibat dalam relasi tersebut.
3.
Dimensi
Kesusilaan (Moralitas)
Manusia ketika
dilahirkan bukan hanya dikaruniai potensi individualitas dan sosialitas,
melainkan juga potensi moralitas atau kesusilaan. Eksistensi manusia memiliki
dimensi moralitas. Manusia memiliki dimensi moralitas sebab ia memiliki kata hati yang dapat membedakan antara
baik dan jahat. Adapun menurut Immanuel Kant disebabkan pada manusia terdapat rasio praktis yang memberikan perintah
mutlak atau categorical imperative (
van der Weij, 1991). Manusia adalah mahluk yang memiliki keterikatan dengan
nilai-nilai dan normanorma, baik norma masyarakat, norma agama, maupun norma
hukum. Manusia memiliki kata hati artinya mampu membedakan hal yang baik dengan
yang tidak baik (buruk).
Menurut Tirtarahardja
& Sulo (2005) dimensi kesusilaan atau moralitas maksudnya adalah bahwa
dalam diri manusia ada kemampuan untuk berbuat kebaikan seperti bersikap jujur
dan bersikap/berlaku adil. Manusia susila adalah manusia yang memiliki
nilai-nilai, menghayati, dan melaksanakan nilai-nilai tersebut. Agar anak dapat
berkembang dimensi moralitasnya, diperlukan upaya pengembangan dengan banyak
diberi kesempatan untuk melakukan kebaikan.
Kebebasan
manusia bukanlah kebebasan yang mutlak tetapi kebebasan yang bertanggungjawab.
Kebebasan manusia memiliki batasan-batasan, seperti faktor dari luar dan faktor
dari dalam. Faktor yang membatasi kebebasan manusia dari luar adalah lingkungan
dan pendidikan, sedangkan faktor yang membatasi dari dalam adalah bakat serta
kemampuan. Kebebasan manusia juga memiliki aturan dalam berbagai norma, seperti
norma kesopanan, norma etiket, norma sosial, norma moral, norma agama, norma
adat istiadat, dan norma hukum (Azani, 2012).
4.
Dimensi
Keberagamaan (Religiusitas)
Religiusitas adalah
seberapa jauh pengetahuan, seberapa kokoh keyakinan, seberapa pelaksanaan
ibadah dan kaidah, dan seberapa dalam penghayatan atas agama yang dianut
(Nashori & Diana, 2002). Manusia adalah makhluk religius, memiliki
kecenderungan untuk mengakui, menyadari, dan meyakini akan adanya zat yang
memiliki kekuatan supranatural di luar dirinya atau adanya yang Maha (Maha Esa,
Maha Kuasa, dan Maha Besar). Manusia memiliki dorongan untuk menyembah Tuhan
(Assegaf, 2005). Beragama (menyembah Tuhan) merupakan kebutuhan manusia karena
manusia adalah makhluk yang lemah sehingga memerlukan tempat bertopang. Manusia
memerlukan agama demi keselamatan hidupnya. Dapat dikatakan bahwa agama menjadi
sandaran vertikal manusia. Manusia dapat menghayati agama melalui proses
pendidikan agama.
Menurut Tirtarahardja
& Sulo (2005) sesuatu yang disebut supranatural itu dalam sejarah manusia
disebut dengan berbagai nama sebutan, satu di antaranya adalah sebutan Tuhan.
Sebagai orang yang beragama, manusia meyakini bahwa Tuhan telah mewahyukan
kepada manusia pilihan yang disebut rasul yang dengan wahyu Tuhan tersebut,
manusia dibimbing ke arah yang lebih baik, lebih sempurna dan lebih bertakwa.
Segala
bentuk tanggung jawab pribadi dan sosialnya adalah manifestasi diri sebagai
hamba Tuhan, atas amanah-Nya untuk menjadi khalifah di muka bumi. Dengan
demikian, upaya untuk dapat memayu
hayuning bawana ( selalu berusaha mempercantik kecantikan dunia) dapat
dilakukan dengan budi pekerti atau perilaku yang arif dan bijaksana. Manusia
sebagai makhluk Tuhan, dalam konteks agama juga memiliki kewajiban untuk selalu
berdakwah dan menebarkan amar ma’ruf nahi
mungkar ( Ilyas, 2003).
5.
Dimensi
Kesejarahan (Historis)
Dunia manusia bukan
sekedar suatu dunia vital seperti pada hewanhewan. Manusia tidak identik dengan
sebuah organisme. Kehidupannya lebih dari sekedar peristiwa biologis semata.
Berbeda dengan kehidupan hewan, manusia menghayati hidup ini sebagai“hidupku”
dan “hidupmu”- sebagai tugas bagi sang aku dalam masyarakat tertentu pada kurun
sejarah tertentu. Keunikan hidup manusia ini tercermin dalam keunikan setiap
biografi dan sejarah. Dimensi kesejarahan ini bertolak dari pandangan bahwa
manusia adalah makhluk historis, makhluk yang mampu menghayati hidup di masa
lampau, masa kini, dan mampu membuat rencana-rencana kegiatan-kegiatan di masa
yang akan datang. Dengan kata lain, manusia adalah makhluk yang menyejarah
(Tirtarahardja & Sulo, 2005). Manusia dan sejarah tidak dapat dipisahkan,
sejarah tanpa manusia adalah khayal. Manusia dan sejarah merupakan kesatuan dengan
manusia sebagai subyek dan obyek sejarah. Bila manusia dipisahkan dari sejarah
maka ia bukan manusia lagi, tetapi sejenis mahluk biasa, seperti hewan (Ali,
2005).
Keberadaan
manusia pada saat ini terpaut kepada masa lalunya, ia belum selesai mewujudkan
dirinya sebagai manusia, ia mengarah ke masa depan untuk mencapai tujuan
hidupnya. Sementara itu menurut Nata (2002) manusia adalah makhluk yang
historis. Hakikat manusia sendiri adalah suatu sejarah, suatu peristiwa yang
bukan semata-mata datum. Hakikat manusia hanya dapat di lihat dalama perjalanan
sejarahnya, dalam sejarah bangsa manusia. Apa yang di peroleh dari pengamatan
atas pengalaman manusia adalah suatu rangkaian anthropological constants yaitu dorongan-dorongan dan orientasi
yang tetap. Anthropological constants
yang dapat ditarik dari pengalaman sejarah umat manusia, yaitu (1) relasi
manusia dengan kejasmanian, alam, dan lingkungan ekologis; (2) keterlibatan
dengan sesama; (3) keterikatan dengan struktur sosial dan institusional; (4)
ketergantungan masyarakat dan kebudayaan pada waktu dan tempat; (5) hubungan
timbal balik antara teori dan praktis; (6) kesadaran religius dan parareligius.
Keenam anthropological constants ini
merupakan suatu sintesis dan masing-masing saling berpanguruh satu dengan lainnya.
6.
Dimensi
Komunikasi
Kehidupan manusia tidak
dapat dilepaskan dari aktivitas komunikasi, karena komunikasi merupakan bagian
integral dari sistem dan tatanan kehidupan sosial manusia. Aktivitas komunikasi
dapat dilihat pada setiap aspek kehidupan manusia, sejak bangun tidur sampai
beranjak tidur. Manusia berinteraksi atau berkomunikasi baik secara vertikal
(dengan Tuhannya) maupun secara horizontal (dengan sesama manusia dan alam
semesta) untuk mencapai tujuan hidupnya. Komunikasi merupakan proses menyamakan
persepsi, pikiran, dan rasa antara komunikator dengan komunikan. Menurut
Effendy (2006) secara paradigmatis, komunikasi adalah proses penyampaian suatu
pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk memberi tahu atau mengubah sikap,
pendapat, atau perilaku, baik langsung secara lisan maupun tak langsung melalui
media.
Komunikasi merupakan
suatu proses sosial yang sangat mendasar dan vital dalam kehidupan manusia.
Dikatakan mendasar karena setiap masyarakat manusia, baik yang primitif maupun
yang modern, berkeinginan mempertahankan suatu persetujuan mengenai berbagai
aturan sosial melalui komunikasi. Dikatakan vital karena setiap individu
memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan individu-individu lainnya
sehingga meningkatkan kesempatan individu itu untuk tetap hidup (Rakhmat,
1998).
Komunikasi
antar manusia merupakan suatu rangkaian proses yang halus dan sederhana.
Komunikasi selalu dipenuhi berbagai unsur-sinyal, sandi, dan arti, tak peduli
bagaimana sederhananya sebuah pesan atau kegiatan itu. Komunikasi antar manusia
juga merupakan rangkaian proses yang beraneka ragam. Ia dapat menggunakan
beratus-ratus alat yang berbeda, ketika manusia berinteraksi saat itulah mereka
berkomunikasi (Blake & Haroldsen, 2003).
7.
Dimensi
Dinamika
Menurut
Drijakarja, manusia mempunyai atau berupa dinamika (manusia sebagai dinamika),
artinya manusia tidak pernah berhenti, selalu dalam keaktifan, baik dalam aspek
fisiologik maupun spiritualnya. Dinamika mempunyai arah horisontal (ke arah
sesame dan dunia) maupun arah transendental (ke arah Yang Mutlak). Adapun
dinamika itu adalah untuk penyempurnaan diri baik dalam hubungannya dengan
sesama, dunia dan Tuhan. Manusia adalah subjek, sebab itu ia dapat mengontrol
dinamikanya. Namun demikian karena ia adalah kesatuan jasmani-rohani (yang mana
ia dibekali nafsu), sebagai insan sosial, dan sebagainya, maka dinamika itu
tidak sepenuhnya selalu dapat dikuasainya. Terkadang muncul dorongan-dorongan
negatif yang bertentangan dengan apa yang seharusnya, kadang muncul pengaruh
negatif dari sesamanya yang tidak sesuai dengan kehendaknya, kadang muncul
kesombongan yang tidak seharusnya diwujudkan, kadang individualitasnya terlalu
dominan atas sosialitasnya, dan sebagainya. Sehubungan dengan itu, idealnya
manusia harus secara sengaja dan secara prinsipal menguasai dirinya agar
dinamikanya itu betul-betul sesuai dengan arah yang seharusnya (Suyitno, 2010).
E. Pengembangan
Potensi dan Hakikat Manusia
Kajian
tentang manusia dengan segala hakikat, dimensi dan potensinya tetap amat
penting serta menarik untuk dilakukan dan dikembangkan (Amir, 2012). Manusia
adalah makhluk yang memiliki kemanusiaan manusianya (hakikat, dimensi dan
potensi) yang dapat menjadi objek dan subjek pendidikan serta sumber pendidikan
itu sendiri bagi pengembangan diri. Pendidikan harus berpijak pada kemanusiaan
yang dimiliki oleh manusia, karena kemanusiaan manusia itu tidak akan bisa
berkembang tanpa adanya pelayanan pendidikan terhadapnya (Prayitno, 2009).
Berikut ini akan diuraikan potensi manusia dan pengembangannya serta hakikat
dan dimensi.
1. Potensi
Manusia dan Pengembangannya
Berbeda
dengan makhluk lainnya, manusia adalah ciptaan Allah yang paling potensial.
Potensi yang dibekali oleh Allah untuk manusia sangatlah lengkap dan sempurna.
Hal ini menyebabkan manusia mampu mengembangkan dirinya melalui potensi-potensi
(innate potentials atau innate tendencies) tersebut. Secara
fisik manusia terus tumbuh, secara mental manusia terus berkembang, mengalami
kematangan dan perubahan. Kesemua itu adalah bagian dari potensi yang diberikan
Allah kepada manusia sebagai ciptaan pilihan. Potensi yang diberikan kepada
manusia itu sejalan dengan sifat-sifat Tuhan, dan dalam batas kadar dan
kemampuannya sebagai manusia. Jika tidak demikianmaka manusia akan mengaku
dirinya Tuhan (Langgulung, 2008). Jalaluddin (2003) dan Khasinah (2013)
mengatakan bahwa ada 4 potensi yang utama yang merupakan fitrah dari Allah
kepada manusia, yaitu.
a.
Potensi
Naluriah (Emosional) atau Hidayat al-Ghariziyyat
Potensi
naluriah ini memiliki beberapa dorongan yang berasal dari dalam diri manusia.
Dorongan-dorongan ini merupakan potensi atau fitrah yang diperoleh manusia
tanpa melalui proses belajar. Makanya potensi ini disebut juga potensi
instingtif, dan potensi ini siap pakai sesuai dengan kebutuhan manusia dan
kematangan perkembangannya. Dorongan yang pertama adalah insting untuk
kelangsungan hidup seperti kebutuhan akan makan, minum penyesuaian diri dengan
lingkungan. Dorongan yang kedua adalah dorongan untuk mempertahankan diri.
Dorongan ini bisa berwujud emosi atau nafsu marah, dan mempertahankan diri dari
berbagai macam ancaman dari luar dirinya, yang melahirkan kebutuhan akan
perlindungan seprti senjata, rumah, dan sebagainya. Dorongan yang ketiga adalah
dorongan untuk berkembang biak atau meneruskan keturunan, yaitu naluri seksual.
Dengan dorongan ini manusia bisa tetap mengembangkan jenisnya dari generasi ke
generasi.
b.
Potensi
Inderawi (Fisikal) atau Hidayat al-Hasiyyat
Potensi
fisik ini bisa dijabarkan atas anggota tubuh atau indra-indra yang dimiliki manusia seperti indra
penglihatan, pendengaran, penciuman, peraba dan perasa. Potensi ini difungsikan melalui indra-indra yang sudah
siap pakai hidung, telinga, mata,
lidah, kulit, otak dan sisten saraf manusia. Pada dasarnya potensi fisik ini digunakan manusia untuh
mengetahui halhal yang ada di luar diri mereka,
seperti warna, rasa, suara, bau, bentuk ataupun ukuran sesuatu. Jadi bisa dikatkan poetensi merupakan alat bantu
atau media bagi manusia untuk mengenal hal-hal
di luar dirinya. Potensi fisikal dan emosional ini terdapat juga pada binatang.
c.
Potensi
Akal (Intelektual) atau Hidayat al-Aqliyat
Potensi
akal atau intelektual hanya diberikan Allah kepada manusia sehingga potensi
inilah yang benar-benar membuat manusia menjadi makhluk sempurna dan
membedakannya dengan binatang. Potensi akal memberi kemampuan kepada manusia
untuk memahami simbolsimbol, hal-hal yang abstrak, menganalisa, membandingkan,
maupun membuat kesimpulan yang akhirnya memilih dan memisahkan antara yang
benar dengan yang salah. Kebenaran akal mendorong manusia berkreasi dan
berinovasi dalam menciptakan kebudayaan serta peradaban. Manusia dengan
kemampuan akalnya mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, mengubah
serta merekayasa lingkungannya, menuju situasi kehidupan yang lebih baik, aman,
dan nyaman.
d.
Potensi
Agama (Spiritual) atau Hidayat al-Diniyyat
Selain potensi akal,
sejak awal manusia telah dibekali dengan fitrah beragama atau kecenderungan
pada agama. Fitrah ini akan mendorong manusia untuk mengakui dan mengabdi kepada sesuatu yang dianggapnya
memiliki kelebihan dan kekuatan yang
lebih besar dari manusia itu sendiri. Nantinya, pengakuan dan pengabdian ini akan melahirkan berbagai macam bentuk
ritual atau upacara-upacara sakral
yang merupakan wujud penyembahan manusia kepada Tuhannya. Dalam pandangan Islam kecenderungan kepada agama ini merupakan
dorongan yang bersal dari dalam diri manusia sendiri yang merupakan anugerah dari Allah.
Keempat
potensi dasar manusia seperti yang dijelaskan di atas harus dikembangkan agar
bisa berfungsi secara optimal dan dapat mencapai tujuan yang sebenarnya.
Pengembangan potensi manusia ini harus dilakukan secara terarah, bertahap dan
berkelanjutan serta dapat dilakukan dengan berbagai cara dan pendekatan.
Jalaluddin (2003) dan Khasinah (2013) mengatakan ada beberapa pendekatan yang
bisa digunakan dalam mengembangkan potensi manusia.
a.
Pendekatan
Filosofis
Menurut
pandangan filosofis manusia diciptakan untuk memberikan kesetiaan, mengabdi dan
menyembah hanya kepada penciptanya. Manusia memang diciptakan untuk taat dan
mengabdi kepada penciptanya. Sesuai dengan kakikat penciptaannya, maka
keberadaan atau eksistensi manusia itu baru akan berarti, bermakna dan bernilai
apabila pola hidup manusia telah sesuai dengan blue-print yang sudah ditetapkan oleh Tuhan. Pengembangan potensi
manusia harus bisa mengarahkan manusia untuk menjadi abdi Tuhannya dan
mengikuti nilai-nilai yang benar menurut kebenaran ilahiah yang hakiki.
b.
Pendekatan
Kronologis
Pendekatan
kronologis memandang manusia sebagai makhluk evolutif. Manusia tumbuh dan
berkembang secara bertahap dan berangsur. Petumbuhan fisik dan mental manusia
diawali dari proses konsepsi, pada tahap selanjutnya menjadi janin, kemudian
lahir menjadi bayi, anak-anak, remaja, dewasa hingga meninggal. Hal ini terjadi
sesuai dengan tahapan-tahapan pertumbuhan dan perkembangan yang berlaku.
Pengembangan potensi manusia juga harus mengikuti pertumbuhan fisiknya dan
perkembangan mentalnya, artinya pengembangan potensi manusia harus diarahkan
dan dibina sesuai tahapan-tahapan tumbuh kembang manusia.
c.
Pendekatan
Fungsional
Potensi-potensi
yang dimiliki manusia diberikan Tuhan untuk dapat dipergunakan dan difungsikan
dalan kehidupan mereka. Karena tidak mungkin Tuhan menciptakan sesuatu yang
tidak bermanfaat. Semua ciptaan Tuhan mempunyai maksud dan tujuan, temasuk
potensi-potensi yang diberikan kepada manusia. Pengembangan potensi manusia
harus dilaksanakan sesuai dengan manfaat dan fungsi potensi itu sendiri.
Misalnya, dorongan seksual, harus dibina dan diarahkan untuk menjaga
kelestarian jenis manusia, bukan untuk berbuat maksiat atau mencari kesenangan
semata. Dorongan naluri lain lainnya seperti makan, minum dan mempertahankan
diri harus diarahkan untuk kelangsungan hidup, bukan mengumbar nafsu.
d.
Pendekatan
Sosial
Pendekatan
ini memandang manusia sebagai makhluk sosial. Manusia dianggap sebagai makhluk
yang cenderung untuk hidup bersama dalam kelompok kecil (keluarga) maupun besar
(masyarakat). Sebagai makhluk sosial manusia harus mampu mengembangkan
potensinya untuk bisa berinteraksi di dalam lingkungannya dan mampu memainkan
peran dan fungsinya di tengah lingkungannya. Dalam upaya mengembangkan
potensi-potensinya manusia membutuhkan dukungan dan bantuan dari pihak lain di
luar dirinya untuk membimbing, mengarahkan, dan menuntunnya agar pengembangan
potensi tersebut berhasil secara maksimal. Upaya pengembangan potensi ini
dilihat dari sudut pandang manapun akan merujuk kepada pendidikan.
Tugas
pendidikan dalam pengembangan potensi manusia, adalah dalam upaya menjaga dan
mengerahkan fitrah atau potensi tersebut menuju kebaikan dan kesempurnaan.
Pengembangan berbagai potensi manusia (fitrah) ini dapat dilakukan dengan
kegiatan belajar, yaitu melalui institusi-institusi. Belajar yang dimaksud
tidak harus melalui pendidikan di sekolah saja, tetapi juga dapat dilakukan di
luar sekolah, baik dalam keluarga maupun masyarakat ataupun melalui institusi
sosial yang ada. Kesimpulannnya adalah manusia bisa mengembangkan seluruh
potensinya melalui pendidikan, baik itu pendidikan formal, informal maupun
pendidikan nonformal (Khasinah, 2013).
2. Pengembangan
Dimensi Hakikat Manusia
Semua unsur hahekat
manusia yang monopluralis atau dimensidimensi kemanusiaan tersebut memerlukan
pengembangan agar dapat lebih meyempurnakan manusia itu sendiri. Pengembangan
semua potensi atau dimensi kemanusiaan itu dilakukan melalui dan dengan
pendidikan. Atas dasar inilah maka antara pedidikan dan hakikat manusia ada
kaitannya. Dengan dan melalui pendidikan, semua potensi atau dimensi
kemanusiaan dapat berkembang secara optimal. Arah pengembangan yang baik dan
benar yakni ke arah pengembangan yang utuh dan komprehensif.
Pendidikan
telah lahir dalam kehidupan manusia sejak adanya manusia, entah berapa abad
yang lalu mendahului kehadiran kita sekarang ini. Banyak orang mengecam
pendidikan sebagai biang keladi yang menyebabkan kemerosotan ekonomi,
kemerosotan ahlak, kemerosotan kualitas hidup dan lain sebagainya. Tetapi,
hingga dewasa ini belum ada yang mengusulkan agar pendidikan disingkirkan atau
dihilangkan dari perikehidupan manusia. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan
diperlukan oleh manusia (Suyitno, 2010). Pada dasarnya pendidikan merupakan
upaya manusia untuk memperbaiki kehidupan manusia, dalam masyarakat dan
interelasi kemanusiaan. Disadari atau tidak, setiap pendidik memiliki
seperangkat dasar pemikiran untuk melaksanakan tugasnya tersebut. Dasar
pemikiran tersebut, berkaitan dengan pandangan hidup, pandangan tentang manusia
dan pandangan tentang bagaimana melaksanakan tugasnya itu. Untuk itulah para
pendidik perlu mengkaji landasan filsafi yang membahas persoalan hidup dan
tujuan hidup, masalah hakikat manusia dan pengembangannya, masalah nilai baik
dan buruk, serta masalah tujuan pendidikan.
Telah
panjang lebar diuraikan di atas bahwa sasaran pendidikan adalah manusia
sehingga dengan sendirinya pengembangan manusia menjadi tugas pendidikan.
Manusia lahir telah dikarunia hakikatmanusia tetapi masih dalam potensi, belum
teraktualisasi menjadi wujud kenyataan atau aktualisasi. Bergerak dari kondisi
potensi menjadi wujud aktualisasi terdapat rentangan proses yang mengundang
pendidikan untuk berperan dalam memberikan jasanya. Meskipun tidak dapat
disangkal bahwa pendidikan pada dasarnya adalah baik tetapi dalam
pelaksanaannya bisa saja terjadi kesalahan (lazimnya disebut salah didik).
Terkait dengan itu, ada 2 kemungkinan yang bisa terjadi, yaitu.
a. Pengembangan
yang Utuh
Menurut Tirtarahardja
& Sulo (2005) tingkat keutuhan perkembangan dimensi hakikat manusia
ditentukan oleh dua faktor, yaitu kualitas dimensi hakikat manusia itu sendiri
secara potensial dan kualitas pendidikan yang disediakan untuk memberikan
pelayanan atas perkembangannya. Pengembangan yang utuh dapat dilihat dari
berbagai segi, yaitu:
1)
Wujud Dimensinya
Keutuhan
terjadi antara aspek jasmani dan rohani, antara dimensi keindividualan,
kesosialan, kesusilaan, keberagamaan. historisitas, komunikasi, dan dinamika,
juga antara aspek kognitif, afketif, dan psikomotor. Pengembangan aspek jasmani
dan rohani dikatakan utuh jika keduanya mendapat pelayanan secara seimbang.
2) Arah
Pengembangan
Keutuhan
pengembangan dimensi hakikat manusia dapat diarahkan kepada pengembangan
dimensi keindividualan, kesosialan, kesusilaan, keberagamaan, historisitas,
komunikasi, dan dinamika secara terpadu.
b. Pengembangan
yang Tidak Utuh
Menurut Tirtarahardja
& Sulo (2005) pengembangan yang tidak utuh terjadi jika dalam proses
pengembangan unsur-unsur dimensi hakikat manusia terabaikan untuk ditangani.
Pengembangan yang tidak utuh pada perkembangannya akan berakibat terbentuknya
kepribadian yang pincang dan tidak mantap (lazimnya disebut pengembangan
patologis).
Tingkat
keutuhan perkembangan hakikat manusia ditentukan oleh 2 faktor, yaitu kualitas
dimensi hakikat manusia itu sendiri secara potensial dan kualitas pendidikan
yang disediakan untuk memberi pelayanan atas perkembangannya. Menurut Mujidin
(2005) pengembangan manusia secara utuh sebagai pribadi meliputi segala dimensi
dan kompleksitasnya. Pengembangan jangan terfokus pada yang simpel misalnya
aspek fisik/emosi atau intelektual dari pribadi dengan meninggalkan lebih banyak
alam kedalaman yang tak tergali, dan karenanya tak terealisasikan. Pendidikan
memungkinkan setiap orang mampu mengembangkan dirinya secara utuh sebagai
manusia yang bermanfaat.
F. Konsep
Manusia Seutuhnya
Sebelumnya telah
diuraikan konsep pengembangan manusia yang bersifat utuh dan tidak utuh.
Selanjutnya kita pun perlu memahami konsep manusia seutuhnya. Pembangunan
manusia seutuhnya merupakan tujuan pendidikan nasional yang tersirat dalam
Pembukaan Undang-undang Dasar (UUD) 1945, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.
Sejalan dengan pembukaan itu, pada batang tubuh UUD 1945 diantaranya Pasal 20,
Pasal 21, Pasal 28 C ayat (1), Pasal 31, dan Pasal 32 juga mengamanatkan bahwa
pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang
meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlaq
mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan
undang-undang. UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dengan
jelas menegaskan bahwa pendidikan merupakan upaya memberdayakan peserta didik
untuk berkembang menjadi manusia Indonesia seutuhnya, yaitu yang menjunjung
tinggi dan memegang dengan teguh norma dan nilai yaitu norma agama dan
kemanusiaan, norma persatuan bangsa, norma kerakyatan dan demokrasi, dan norma
keadilan sosial.
Manusia
(masyarakat) Indonesia seutuhnya adalah manusia (masyarakat) yang memiliki
nilai keadilan, adil dengan sesama dan dengan alam sekitarnya. Manusia
(masyarakat) seutuhnya adalah manusia (masyarakat) yang memiliki moral
bersyukur, bersabar dan berikhlas atau dengan kata lain memiliki jiwa spiritual
atau kecerdasan spiritual (Suhartono, 2007). Manusia seutuhnya yaitu manusia
yang dididik untuk mencapai keselarasan dan keseimbangan, baik dalam hidup
manusia sebagai pribadi, makhluk sosial, dalam hubungan manusia dengan
masyarakat, sesama manusia, dengan alam, dan dengan Tuhannya dalam mengejar
kemajuan dan kebahagiaan rohaniah (Pelly & Menanti, 1994).
Membangun manusia
Indonesia seutuhnya berarti membangun manusia yang memiliki kecerdasan, watak
dan kepribadian Indonesia. Kecerdasan berarti kecerdasan intelektual,
kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual. Memiliki watak berarti memiliki
watak yang lembut, sopan, penyayang dan sebagainya. Kepribadian artinya memiliki
kepribadian pekerja keras, disiplin sesuai dengan kepribadian Indonesia.
Manusia seperti inilah yang akan dibentuk oleh pendidikan (Idris, 2013).
Manusia seutuhnya tertuang dengan jelas dalam tujuan pendidikan Indonesia yaitu
mewujudkan manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha
Esa (religious) dan berbudi pekerti luhur (bermoral), memiliki pengetahuan dan
keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri
serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan ( Soedijarto, 2008).
Manusia
akan menjadi manusia yang sebenarnya apabila mendapat pendidikan. Manusia yang
tidak memperoleh pendidikan tidak akanmampu menjalani kehidupannya dengan
sempurna, tidak akan berguna bagi kehidupan. Proses pendidikan menjadi sarana
untuk memanusiakan manusia dan mewariskan kebudayaan kepada generasi
penerusnya. Terkait dengan manusia seutuhnya, Prayitno & Amti (2004) dengan
merujuk dari para pemikir Barat, khusunya dalam bidang psikohumanistik, seperti Frankl, Jung, Maslow dan Rogers telah pula
mengajukan berbagai rumusan sejalan dengan konsep manusia seutuhnya. Mereka
memakai istilah (berfungsi unsur-unsur kemanusiaan secar ideal) sebagai
perwujudan manusia seutuhnya. Ciri-ciri
yang dapat berfungsi secara ideal itu adalah:
1. Menurut
Frankl
a.
Mencapai penghayatan yang penuh tentang
makna hidup dan kehidupan
b.
Bebas memilih dan bertindak
c.
Bertanggung jawab secara pribadi
terhadap segala tindakan
d. Melibatkan
diri dalam kehidupan bersama orang lain.
2. Menurut
Jung
a.
Memiliki pemahaman yang mendalam tentang
diri sendiri
b.
Menerima diri sendiri, termasuk kekuatan
dan kelemahannya
c.
Menerima dan bersikap toleran terhadap
hakikat dan keberadaan kemanusiaan secara umum
d. Menerima
hal-hal yang masih belum dapat diketahui atau misterius, serta bersedia
mempertimbangkan hal-hal yang bersifat tidak rasional tanpa meninggalkan
cara-cara berpikir logis.
3. Menurut
Maslow
Manusia yang berfungsi
secara ideal ialah mereka yang mengembangkan seluruh kemampuan dan potensinya.
Lebih jauh, Maslow menyebutkan bahwa mereka adalah orang-orang yang telah
berhasil mewujudkan diri sendiri secara penuh. Dari pandanganpandanagn terhadap
manusia seperti yang telah dijelaskan di atas, secara sederhana hakikat manusia
dapat dijelaskan sebagai berikut.
a.
Manusia
sebagai makhluk individu, bahwa mansuia sebagai makhluk
individu yang mempunyai ciri-ciri atau kekhasan tersendiri. Oleh karena itu
manusia juga disebut sebagai makhluk
yang unik.
b.
Manusia
sebagai makhluk sosial, bahwa manusia sebagai makhluk
sosial mempunyai sifat sosialitas yang menjadi dasar dan tujuan dari kehidupan
manusia yang sewajarnya.
c.
Manusia
sebagai makhluk psikofisik, bahwa manusia merupakan totalitas
jasmani dan rohani. Setiap bagian tubuh dan kegiatan prganisme yang biologis
sifatnya pasti mengabdikan diri kepada aktivitas psikis, juga sebaliknya.
d. Manusia sebagai makhluk monodualis,
bahwa manusia sebagai makhluk monodualis tidak dapat memisahkan antara jiwa dan
raga sebagai satu kesatuan dalam perkembangannya.
e.
Manusia
sebagai makhluk bermoral, bahwa manusia yang normal pada
intinya mengambil keputusan susila dan mampu membedakan halhal yang baik dan
buruk. Selain itu juga mampu membedakan hal yang benar dan yang salah untuk
kemudian mengarahkan hidupnya ke tujuan-tujuan yang berarti sesuai dengan pilihan
dan keputusan hati nurani dalam mempertimbangkan baik/buruk dan salah/benar.
f.
Manusia
sebagai makhluk religius, bahwa manusia sebagai makhluk
religius mengndung kemungkinan baik dan jahat, sesuai dengan pandangan manusia
itu sendiri sebagai makhluk Tuhan. Manusia mempunyai nafsu-nafsu baik maupun
jahat.
g.
Manusia
sebagai makhluk berpikir/filosofis, bahwa manusia itu
mempunyai akal dan budi. Akal digunakan untuk berpikir agar menjadi berbudi.
h.
Manusia
sebagai makhluk berketerampilan, bahwa manusia sudah
mempunyai bakat dan minat masing-masing dalam mengembangkan keterampilannya.
Pemberdayaan manusia
seutuhnya berarti memperlakukan peserta didik sebagai subyek merupakan
penghargaan terhadap peserta didik sebagai manusia yang utuh. Peserta didik
memiliki hak untuk mengaktualisasikan dirinya secara optimal dalam aspek
kecerdasan intelektual, spiritual, sosial, dan kinestetik. Paradigma ini
merupakan fondasi dari pendidikan yang menyiapkan peserta didik untuk berhasil
sebagai pribadi yang mandiri (makhluk individu), sebagai elemen dari sistem
sosial yang saling berinteraksi dan mendukung satu sama lain (makhluk sosial)
dan sebagai pemimpin bagi terwujudnya kehidupan yang lebih baik di muka bumi
(makhluk tuhan) (Kemendiknas, 2010).
No comments:
Post a Comment